Tanggal 28
Oktober kemarin, tepat di Hari Sumpah Pemuda, saya mendapat hadiah. Sebuah buku
puisi supertebal dikirimkan ke rumah dari PDS. H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jakarta Pusat. Betapa senangnya saya!
Ini semua
berawal dari sebuah artikel di internet tentang peringatan Hari Puisi yang
diadakan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia (HPI) pada tanggal 26 Juli. Selain
mengadakan Lomba Buku Puisi, akan diluncurkan dua buah buku antologi puisi.
Antologi pertama berisi puisi-puisi karya penyair Indonesia yang pernah dimuat
di Harian Indopos. Kemudian buku kedua adalah kumpulan puisi yang memuat karya
penyair-penyair Indonesia yang dikirimkan dalam rentang waktu 26 Juli—17 Agustus
2016 (melalui email, pada Bapak Rida K Liamsi).
Sesudah membaca
pengumuman tersebut, saya tertarik mengirimkan puisi saya. Karena tidak ada
penjelasan apakah diperbolehkan mengirim lebih dari satu puisi, saya lalu
mengirimkan tiga puisi (Jika hanya boleh mengirimkan satu, saya kira pihak
penyelenggara bisa memilih mana yang paling bagus menurut mereka).
Kemudian pada
bulan September saya menerima email undangan dari ketua panitia HPI untuk hadir
di acara puncak Hari Puisi Indonesia pada tanggal 11—12 Oktober di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta. Buku antologi akan diluncurkan pada hari itu. Dengan penuh
penyesalan saya segera membalas email tersebut, memberi tahu bahwa saya tidak
dapat hadir. Jadilah saya hanya mendapatkan satu buah buku (yang datang ke
acara mendapat dua).
Waktu membuka
bungkusan saya sangat terkejut karena bukunya tebal sekali. Seberapa tebal?
2016 halaman! Setebal itu, belum termasuk halaman yang memuat daftar isi,
catatan penyelenggara, puisi pengantar oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla
(berjudul Ambonku, Ambon Kita Semua), dan Kata Pembuka. Memuat 1280
puisi dari 216 penyair di seluruh Indonesia—penyair tertua berusia 80 tahun,
sedangkan yang termuda berusia 14 tahun, dengan tebal 2016 halaman (mengambil
tahun 2016), dan disebut sebagai buku antologi puisi paling tebal se-Indonesia.
Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Puisi Indonesia dan Yayasan Sagang ini kabarnya akan dipertimbangkan untuk didaftarkan di MURI.
Lalu apa yang
saya rasakan setelah puisi saya dimuat dalam antologi ini? Sulit dijelaskan.
Saya takjub, tidak menyangka kalau puisi saya bisa masuk dalam suatu “proyek
besar”. Karena tadinya saya hanya iseng. Tidak pernah terpikir sedikit pun
bahwa puisi saya bisa berkumpul bersama puisi karya para penyair hebat dan
ternama. Saya juga minder setelah membaca puisi karya teman-teman lain yang
sudah menggunakan bahasa tingkat tinggi dengan rangkaian kata sedemikian indah.
Sedangkan saya? Sungguh, saya merasa bahwa puisi-puisi saya sesungguhnya tidak
pantas masuk dalam antologi ini. Siapalah saya ini bila dibandingkan dengan
mereka yang karyanya sudah banyak bertebaran di berbagai media massa dan
memenangkan berbagai penghargaan dalam ajang bergengsi? Saya sama sekali tidak
pantas atau belum pantas disebut sebagai penyair. Gelar itu terlalu tinggi dan
berat, bisa jatuh kalau saya menerimanya sekarang. Apalagi saya termasuk orang yang sangat perfeksionis. Jika sudah menyelesaikan suatu karya, selalu saja merasa kurang, merasa tidak bagus. Padahal, kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta.
Saya pun mengingatkan diri sendiri untuk bersyukur. Apa pun kekurangannya, saya sangat beruntung mendapat kehormatan bergabung dalam antologi
ini. Saya bisa belajar banyak dari teman-teman lain dan yang tak kalah penting
adalah, saya mendapat suntikan semangat untuk terus berkarya lebih, lebih, dan
lebih baik lagi. Bahagia rasanya dapat turut "berpesta" merayakan Hari Puisi Indonesia. Berharap saya dapat turut "berpesta" juga di tahun-tahun berikutnya...
Terakhir,
setelah pada Allah
swt., saya menghaturkan terima kasih tak terhingga pada panitia Hari
Puisi Indonesia 2016, dan dengan disertai hormat, kepada penyusun, Bapak Rida K Liamsi.
Tebalnya melebihi batu bata!
Sumber foto: Dokumen pribadi
Komentar
Posting Komentar