Langsung ke konten utama

LAUT BIRU KLARA, Memandang Kekurangan Sebagai Suatu Kelebihan

Judul: Laut Biru Klara
Penulis: Auni Fa
Penerbit: METAMIND (Tiga Serangkai)
Tebal: 330 halaman
Cetakan: Pertama, Februari 2019
ISBN: 978-602-9251-77-7





Laut Biru Klara adalah novel karya Auni Fa kedua yang saya baca. Menceritakan tentang gadis kecil penderita autis bernama Klara yang tinggal di Kampung Pesisir miskin. Meski demikian, Klara memiliki kemampuan berenang luar biasa mengungguli kedua sahabatnya yang normal, Sea dan Gegar.

Sea, anak perempuan nelayan yang digadang-gadang sebagai penerus keluarga, sebanarnya sangat benci dengan bau amis ikan. Bersama teman laki-lakinya, Gegar, Sea menjadi pengawal pribadi Klara. Menemani Klara bermain, mengantarnya pergi ke karang besar dan hutan. Sea dan Gegar juga selalu membela Klara jika anak itu dimarahi, dipukuli, atau dikurung di dalam rumah oleh Paman Bai--ayah Klara yang galak.

Dalam suatu peristiwa, Gegar tewas tenggelam terseret ombak. Kepergian gegar membuat Klara dan Sea berduka. Namun untunglah tak berlangsung lama. Mereka segera bertemu dengan teman baru, yaitu Biru dan Sarah. Biru dan Sarah adalah anak mantan atlet senior yang terdampar di Kampung Pesisir. Mereka menawarkan pada Klara dan Sea untuk merantau ke kota. Klara akan dilatih menjadi seorang perenang handal.

Saya sangat menikmati Laut Biru Klara. Jika dibandingkan dengan buku Auni Fa sebelumnya, Topi Hamdan, Laut Biru Klara terasa lebih fresh, cerah, bersemangat, konflik lebih tajam, dan lebih membuat pensaran. (Meskipun saya juga sangat menyukai Topi Hamdan).

Tapi melihat tokoh Gegar yang hanya muncul di awal cerita, saya jadi merasa dia hanya sebagai tempelan. Maksudnya, seandainya tokoh Gegar dihilangkan pun, cerita akan tetap berjalan. Akan lebih baik jika tokoh Gegar dihubungkan dengan tokoh lain, sehingga keberadaannya tidak terkesan sia-sia. Sebagai keluarga Mat Lepu, misalnya? Bukankah orang yang dikata gila ini hilang ingatan setelah kapalnya karam?

Kemudian gagalnya Klara mengikuti lomba renang antarprovinsi, rasanya kok, terlalu kejam. Setelah diculik Gina, kaki Klara dipukuli sampai berdarah, mestinya biarkan Klara sembuh. Ikut kompetisi dan menyabet gelar juara sekali lagi.

Kepulangan Sea dan Klara ke Kampung Pesisir hanya dengan meninggalkan janji tak pasti pada keluarga Biru, meninggalkan sebuah lubang. Ini akhirnya bagaimana? Apakah setelah Klara sembuh, dia kembali lagi ke kota bersama Sea? Tapi melihat keputusan Sea yang akhirnya memilih membantu ayahnya bekerja sebagai nelayan, sepertinya kok, tidak kembali? Lalu bagaimana nasib Gina yang sudah menganiaya Klara? Apakah lepas dari hukum begitu saja--karena dia masih di bawah umur?

Akan tetapi, semua pertanyaan tadi hanyalah pemikiran saya sebagai pembaca. Hak menentukan cerita tetap di tangan penulis. Terlepas dari berbagai kekurangannya, saya memberikan nilai 80 dari 100 untuk Laut Biru Klara. Buku ini cocok dibaca berbagai kalangan dari segala usia. Sarat nilai moral persahabatan, kekeluargaan, kasih sayang, pendidikan, dan perjuangan.

Untuk penulisnya, semoga di karya-karya berikutnya tetap mempertahankan nilai-nilai moral tersebut.


***


Jadi... ternyata saya belum bisa move on dari buku berwarna biru ini. Maka biarkanlah saya ngoceh sebentar, ngobrol tentang "Laut Biru Klara" sekali lagi. Haha!

Rasanya ada perasaan tidak rela waktu buku ini sampai di halaman akhir. Saya terhanyut oleh suasana kanak-kanak yang ditawarkan. Meski tokoh Klara yang diceritakan sebagai anak autis mengalami masa-masa kurang menyenangkan karena sering dibentak-bentak dan diseret-seret oleh ayahnya yang galak. Tak bisa dipungkiri dunia anak tetaplah memukau. Bisa bermain sepanjang hari bersama teman-teman. Di laut, di hutan ... Oh, saya jadi ingin merasakan hidup sebentar saja di perkampungan nelayan.

Sahabat Klara yang lain, Sea, adalah anak yang pemberani dan agak tomboi. Dia putri seorang nelayan yang digadang-gadang meneruskan profesi turun-temurun sebagai nelayan juga. Selama membaca buku ini, saya kadang lupa kalau Sea adalah anak perempuan dan beberapa kali membayangkannya sebagai anak laki-laki.

Satu hal lagi yang masih membuat saya penasaran, "Suling Pembawa Hati Riang" dalam buku ini, yang terbuat dari daun kelapa, seperti apa bentuknya, ya? (Ah, tampaknya saya harus cari info!)

Saya benar-benar merindukan novel anak-anak dengan cerita berkualitas yang bisa dinikmati oleh orang dewasa. Tampaknya itu salah satu alasan saya sulit melupakan cerita LBK. 

Dan mungkin saya rindu menjadi anak-anak lagi...

#BukuOriginal
#TolakBukuBajakan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pinjam Bukunya, Dong!

"Pinjam bukunya, dong!" Bagaimana reaksi teman-teman jika ada yang mengungkapkan kalimat itu? Meminjamkan buku dengan senang hati? Meminjamkan buku dengan waswas dan kasih pesan atau peringatan macam-macam? Atau menolak sama sekali? Kalau saya, ambil pilihan ketiga: menolak sama sekali. Saya paling anti meminjamkan buku pada orang lain. Silakan bilang saya pelit, sok, gaya, atau apa pun. Tapi saya jadi pelit bukan tanpa alasan. Banyak pengalaman buruk saya berhubungan dengan pinjam-meminjam buku. Buku kembali dalam keadaan lecek/lusuh, rusak, dicoret-coret, bahkan tidak kembali. Dulu saya tidak terlalu peduli ketika buku yang dipinjam rusak atau tidak kembali. Tapi sekarang buku menjadi benda kesayangan yang setelah diadopsi saya rawat dan jaga baik-baik. Jadi jika sampai terjadi kerusakan atau kehilangan pada buku yang dipinjam, jangan salahkan jika saya jadi galak!  Buku saya yang rusak setelah dipinjam teman Foto di atas adalah contoh buku yang ...

Mengenal GERD-Anxiety, dan Adenomiosis

Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis Penulis: ShytUrtle Penerbit: Pena Borneo, Februari 2019 (Cetakan Pertama) Tebal: 285 halaman ISBN: 978-602-5987-28-1 Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis  (selanjutnya, demi kemudahan, saya singkat judul buku ini menjadi AGAA) adalah buku yang menceritakan pengalaman penulisnya (ShytUrtle atau U) selama menderita ketiga penyakit tersebut. Ditulis dengan format seperti buku harian, kita seperti dibawa singgah ke Malang, tanah kelahiran U. Kemudian diperlihatkan kehidupan sehari-hari U yang harus bersahabat dengan GERD-anxiety dan adenomiosis. Banyak sekali pengetahuan yang saya dapat usai membaca AGAA, di samping sederet istilah-istilah kesehatan yang rumit. Diuraikan dengan bahasa sederhana, tapi enak diikuti dan tidak membosankan. Sungguh kagum saya pada U karena bisa dengan tegar menjalani hari-harinya setelah divonis menderita sakit GERD dan kawan-kawan. Selama membaca AGAA rasanya saya seperti ikut merasakan seluruh kesakitan, kesedi...

Kan, Masih Anak-Anak!

Anak-anak selalu digambarkan sebagai sosok yang aktif, lucu, menggemaskan, manja, dan nakal. Kata terakhir inilah yang mengendap begitu lama dalam pikiran saya, sehingga membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan ini. Sampai sejauh mana kenakalan anak-anak masih bisa ditolerir, dianggap wajar? Ada seorang ibu yang berkunjung ke rumah temannya sambil membawa anak kecil. Anaknya sangat aktif, tidak bisa diam. Berlarian ke sana kemari sambil memegang barang-barang milik tuan rumah. Apa saja dipegang. Gelas minuman, toples makanan, helm, hiasan pajangan, keramik ... Sepasang mata sang tuan rumah--yang juga perempuan--tak lepas mengawasi sambil berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan tamunya. Sesekali tersenyum. Namun hatinya berbisik waswas, Aduh, nanti kalau pecah bagaimana, ya? Sementara ibu tamu tetap duduk manis di sebelah tuab rumah, mengobrol dengan serunya. Hanya sesekali berseru, "Adek, jangan! Ayo kembalikan! Jangan ke sana-sana, tidak boleh!" ...