Anak-anak selalu digambarkan sebagai sosok yang aktif, lucu, menggemaskan, manja, dan nakal. Kata terakhir inilah yang mengendap begitu lama dalam pikiran saya, sehingga membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan ini.
Sampai sejauh mana kenakalan anak-anak masih bisa ditolerir, dianggap wajar?
Ada seorang ibu yang berkunjung ke rumah temannya sambil membawa anak kecil. Anaknya sangat aktif, tidak bisa diam. Berlarian ke sana kemari sambil memegang barang-barang milik tuan rumah. Apa saja dipegang. Gelas minuman, toples makanan, helm, hiasan pajangan, keramik ... Sepasang mata sang tuan rumah--yang juga perempuan--tak lepas mengawasi sambil berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan tamunya. Sesekali tersenyum. Namun hatinya berbisik waswas, Aduh, nanti kalau pecah bagaimana, ya?
Sementara ibu tamu tetap duduk manis di sebelah tuab rumah, mengobrol dengan serunya. Hanya sesekali berseru, "Adek, jangan! Ayo kembalikan! Jangan ke sana-sana, tidak boleh!"
Perhatian sang anak beralih pada toples makanan. Membuka tutup toples, mengambil sepotong kue, dan memasukkan ke dalam mulut. Belum habis kue yang pertama, ia mengambil kue lagi. Bahkan mengaduk-aduk isi toples dengan tangan yang basah oleh air liur.
Lagi-lagi sang ibu cuma berkata, "Adek, jangan!"
Bagaimana perasaan tuan rumah kira-kira? Geram. Jelas!
Namun dalam kondisi semacam ini, banyak tuan rumah yang hanya memilih diam demi kesopanan. Tidak bisa menegur karena pelakunya masih anak-anak. Juga karena tidak mau membuat ibunya tersinggung.
Seharusnya sang ibulah yang mengambil tindakan. Bukan dengan berteriak-teriak "Jangan! Jangan!" Langsung datangi si anak. Digandeng, dibawa menjauh (dari benda-benda yang mungkin membahayakan atau membuat masalah), didudukkan dekat ibunya. Atau dipangku. Alihkan perhatian sang anak dengan memberi mainan yang sebenarnya. Mungkin sang ibu bisa bawa mainan sendiri dari rumah. Jika anak ingin makan camilan yang disuguhkan tuan rumah, suruh ambil satu dulu. Awasi sampai anak menghabiskannya, baru boleh ambil lagi.
Sungguh, menyebalkan sekali jika ada seorang ibu yang membawa anak bertamu atau bepergian, tapi abai mengawasi. Si ibu asyik mengobrol dengan temannya dan sang anak "dilepas" begitu saja. Malah orang lain yang ada di sana, yang lebih perhatian, terpaksa jadi baby sitter.
Menegur anak dengan berteriak-teriak, ini juga menyebalkan. Pertama, berisik. Kedua, tidak efektif. Memangnya anak akan mendengarkan dan langsung menurut dengan diteriaki, "Jangan"? Tidak! Lebih baik didatangi dan jauhkan dari sumber masalah!
Ada pula ibu yang tidak pernah mau menerima kalau anaknya disalahkan. Ini yang repot.
Anaknya berteriak-teriak sampai mengganggu ketenangan tetangga kanan kiri.
"Biar, kan, masih anak-anak!"
Anaknya menangis, tantrum sampai berjam-jam. Ibunya tak mengambil tindakan apa pun.
"Biar, kan, masih anak-anak!"
Anaknya memetik daun dan merusak tanaman tetangga.
"Biar, kan, masih anak-anak!"
Bu, kami tahu anak ibu masih anak-anak. Masih sering nakal. Tapi bukan berarti semua yang dia lakukan harus dimaklumi. Kalau kenakalannya di luar batas, sampai mengganggu orang lain atau merusak barang orang lain, tidak bisa didiamkan saja. Sebagai seorang ibu, Anda juga harus bisa mengatur anak Anda. Memberi tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kalau anaknya masih terlalu kecil dan belum bisa membedakan baik dan buruk, ibunyalah yang harus memberi pengawasan ekstra.
Seorang ibu (atau ayah) biasanya akan sakit hati kalau anaknya sampai ditegur orang lain, tidak peduli meski anaknya telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu, sebelum diajari oleh orang lain, lebih baik ibu mengajari anaknya sendiri.
Sumber gambar: PIXABAY
Komentar
Posting Komentar