Langsung ke konten utama

Amplop Sumbangan, Sosial Atau Gengsi?




Peristiwa ini sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.


Waktu itu, di lingkungan tempat sekolah saya berada, salah seorang warganya meninggal dunia. Kegiatan belajar mengajar diakhiri lebih cepat dan guru-guru mengimbau agar kami, para siswa menyempatkan diri untuk melayat ke rumah duka walau sebentar.


Saya dan teman sebangku sepakat akan melayat bersama. Kami membeli amplop putih kecil untuk memasukkan uang sumbangan. 


Teman saya melihat sejumlah uang yang akan saya masukkan dan cepat-cepat mencegah. "Jangan segitu! Kebanyakan!"


Kemudian teman saya menjelaskan bahwa biasanya jumlah uang yang diberikan untuk sumbangan orang meninggal tidak banyak. Kalau sumbangan untuk orang menikah, barulah orang akan memberi banyak.


Saya kurang memerhatikan aturan "sumbang-menyumbang". Karena ketika saya masih SMA, tentu saja yang punya kewajiban "nyumbang" adalah orangtua. Namun saya tidak paham dengan tradisi pemberian sumbangan yang jumlahnya justru lebih sedikit untuk orang meninggal. Sedangkan orang menikah jumlah nominal uang yang disumbangkan malah lebih banyak. 


Perlu digarisbawahi, ini bukan soal pelit atau hitung-hitungan, ya. Tapi kepada orang yang anggota keluarganya meninggal, bisa dibilang mereka tertimpa musibah dan dalam keadaan tidak siap. Jadi bukankah mestinya orang "kesripahan" ini lebih pantas mendapat sumbangan dengan jumlah nominal lebih besar, dibandingkan dengan orang menikah? Kita tahu bahwa orang yang mengadakan acara pernikahan pasti dalam keadaan siap secara materi. 


Saya sempat bertanya pada ibu soal sumbangan yang (menurut saya) agak aneh ini. Kenapa jika ada yang meninggal nominal sumbangannya sedikit, sedangkan pada acara pernikahan orang justru memberi sumbangan lebih banyak. Padahal logikanya, keluarga yang ditinggal mati jelas lebih membutuhkan bantuan.


Ibu saya hanya menjawab, "Memang sudah tradisinya orang kita begitu."


Ah, jawaban yang tidak memberi jawaban.


Di lain hari, salah seorang guru saya yang mengajar mata pelajaran Geografi (sebut saja beliau Pak Geografi), membahas tradisi sumbang-menyumbang. Beliau memiliki pemikiran yang sama dengan saya. Bahwa orang yang tertimpa musibah keluarga meninggal, lebih layak mendapat nominal sumbangan lebih besar daripada orang menikah.


Jadi bagaimana solusinya?


Pak Geografi mengaku bahwa di dalam keluarganya sudah menerapkan cara menyumbang yang "melawan tradisi". Yaitu, jika ada orang meninggal beliau akan memberi sumbangan dengan jumlah nominal yang banyak. Jika perlu, bagaimana caranya "diada-adakan". Sedangkan bagi orang yang menikah, beliau akan memberi sumbangan semampunya. Tidak akan memaksakan diri. 


Sekali lagi saya tekankan, ini bukan karena pelit atau hitung-hitungan. Tapi memilih mana yang lebih pantas mendapat perhatian? Yang sedang berpesta, atau yang sedang berduka?


Bagaimana tradisi sumbang-menyumbang di daerah teman-teman?


Sumber gambar: PIXABAY

Komentar

  1. Saya sangat setuju dengan pikiran saudara. Lebih uang duka dari pada sumbangan untuk hajatan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUT BIRU KLARA, Memandang Kekurangan Sebagai Suatu Kelebihan

Judul: Laut Biru Klara Penulis: Auni Fa Penerbit: METAMIND (Tiga Serangkai) Tebal: 330 halaman Cetakan: Pertama, Februari 2019 ISBN: 978-602-9251-77-7 Laut Biru Klara adalah novel karya Auni Fa kedua yang saya baca. Menceritakan tentang gadis kecil penderita autis bernama Klara yang tinggal di Kampung Pesisir miskin. Meski demikian, Klara memiliki kemampuan berenang luar biasa mengungguli kedua sahabatnya yang normal, Sea dan Gegar. Sea, anak perempuan nelayan yang digadang-gadang sebagai penerus keluarga, sebanarnya sangat benci dengan bau amis ikan. Bersama teman laki-lakinya, Gegar, Sea menjadi pengawal pribadi Klara. Menemani Klara bermain, mengantarnya pergi ke karang besar dan hutan. Sea dan Gegar juga selalu membela Klara jika anak itu dimarahi, dipukuli, atau dikurung di dalam rumah oleh Paman Bai--ayah Klara yang galak. Dalam suatu peristiwa, Gegar tewas tenggelam terseret ombak. Kepergian gegar membuat Klara dan Sea berduka. Namun untunglah tak b

Quote Menulis

Kita semua pasti pernah diserang rasa malas saat menulis. Lalu bagaimana caranya mengembalikan semangat menulis? Daripada mengeluh di facebook atau mengganggu teman, lebih baik kita membaca quote atau kutipan indah para tokoh terkenal yang berhubungan dengan dunia tulis menulis. Setelah membaca kata-kata emas mereka, mungkin saja semangat menulismu langsung melonjak drastis. Simak, yuk! 1. Aku akan menjadi seorang penulis walau harus mati! (Alex Haley) 2. Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak. (Ali bin Abi Thalib) 3. Ikatlah ilmu dengan menulis. (Ali Bin Abi Thalib) 4. Semakin banyak orang membaca buku karya Anda,semakin besar pengaruh yang Anda berikan dalam suatu masyarakat. Mungkin karena energi yang tersimpan dalam buku inilah, sebuah buku sering ditakuti. (Bambang Trimansyah) 5. Penulis tidak perna

Lorosae My Love - Mengejar Cinta ke Bumi Timor Leste

Judul: Lorosa'e: My Love Penulis: Riskaninda Maharani Penerbit: Araska Publisher Tebal: 252 halaman Cetakan: Pertama, November, 2017 ISBN: 978-602-300-432-4 Lorosa'e: My Love adalah sebuah novel cinta dewasa yang mengambil setting di Timor Leste dan Malang. Cukup menarik karena Timor Leste termasuk jarang diangkat ke dalam novel. Inilah yang membuat Lorosa'e: My Love berbeda dari novel-novel kebanyakan. Mengisahkan tentang Dee, gadis petualang cinta dari Indonesia yang jatuh hati pada pemuda Timor Timur bernama Zil. Gejolak perasaan yang begitu menggelora dan sulit dikendalikan membuat Dee terseret pesona pria itu, membawanya serta ke Timor Leste. Berharap kebahagiaan akan merengkuhnya dengan diakui sebagai anggota keluarga Zil secara adat. Namun baru beberapa hitungan hari, Dee melihat perangai Zil berubah menjadi kasar. Memukul, menendang, dan berbagai siksaan fisik sering kali dilayangkan ke tubuh Dee dengan ringan--hingga berdarah-darah. Hanya kar