Langsung ke konten utama

Antologi MENGUNYAH GERAM (Seratus Puisi Melawan Korupsi)

Bisa tergabung dalam Antologi "MENGUNYAH GERAM" (Seratus Puisi Melawan Korupsi), sungguh hal yang tidak terduga.

Awal November 2017 saya membaca pengumuman di status facebook seorang seniman yang membuka event menulis puisi bertema "Puputan Melawan Korupsi" untuk memperingati hari antikorupsi sedunia. Siapa pun yang berminat dipersilakan mengirimkan puisi karyanya yang kemudian akan diseleksi, dan dimuat dalam buku antologi puisi melawan korupsi. Waktu pengiriman karya hanya sekitar sepuluh hari.

Sejenak saya tertegun membaca pengumuman itu. Ada keinginan ikut serta, tapi apakah saya mampu? Mengingat selama ini puisi yang saya tulis selalu tentang cinta-cintaan, beralih ke tema korupsi, itu rasanya seperti orang yang terbiasa minum es krim disodori jamu.

Sepanjang tahun 2017 saya memang sedang giat-giatnya mengikuti lomba menulis--tak peduli menang atau kalah, yang penting ikut. Jika saya tidak mencoba event puisi ini, rasanya kok menyia-nyiakan kesempatan. Daripada menyesal, saya akhirnya saya mencoret-coret puisi tentang korupsi. Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal tiga puisi, meskipun nanti hanya diambil satu yang terbaik. Saya hanya bisa membuat satu, itu pun setengah mati. Dua puisi lain saya ambilkan stok lama yang temanya "nyerempet-nyerempet" penderitaan rakyat akibat tingkah pejabat yang tak amanah. Cepat-cepat saya kirimkan puisi ngawur itu ke email sang kurator.

Beberapa hari kemudian saya membaca status facebook sang kurator tentang perkembangan event "Puputan Melawan Korupsi". Sudah banyak puisi masuk, tetapi isinya dangkal, yang memenuhi kriteria baru sekitar empat puluh persen. Saya langsung pesimis, menduga bahwa "puisi dangkal" yang dimaksud sang kurator, salah satunya adalah milik saya. Sambil mengomeli diri sendiri karena terlalu ke-PD-an, saya segera memupus harapan untuk lolos dan menganggap puisi yang saya kirimkan sebagai barang hilang.

Minggu terakhir di bulan November, saya yang memang sedikit insomnia, terbangun jam tiga dini hari. Iseng-iseng buka facebook. Di notifikasi, ada teman yang menyebut nama saya di sebuah komentar. "Nama Mbak Liana Safitri-kah yang di sana?" Ternyata pengumuman event "Puputan Melawan Korupsi" telah muncul. Nama dan judul pusi saya lolos! Di antara delapan ratus  puisi dan sekitar dua ratus tujuh puluhan penyair, hanya seratus yang diambil untuk dibukukan. Tentu saja saya gembira sekali. Buku antologi melawan korupsi ini nantinya akan dibagikan secara gratis dalam acara festival antikorupsi di Denpasar, Bali. Setiap kontributor pun berhak mendapat satu eksemplar buku terbit. Yang berdomisili di Bali diambil sendiri di tempat acara, sedangkan yang tinggal di luar Bali, buku akan dikirimkan melalui pos. Dengan tak sabar saya menanti buku terbit dikirimkan ke rumah.
Karena ada suatu masalah, buku antologi puisi yang dijadwalkan akan dikirimkan pada para kontributor pada tanggal 9 Desember, terlambat. Lalu sang kurator menyebarkan file PDF buku ini lebih dulu melalui facebook.

Hari Selasa, tanggal 30 Desember,  akhirnya saya menerima hadiah manis itu. Sebuah buku dengan cover lukisan artistik wajah mengunyah tikus, dengan warna merah dan hitam.
"MENGUNYAH GERAM" (Seratus Puisi Melawan Korupsi"

Saya pernah membaca sebuah quote, "Jika meragukan diri sendiri, kau akan rugi." Dan baru sekarang saya menyadari kebenaran kalimat itu.
Sungguh penutup tahun yang indah!
Alhamdulillah...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pinjam Bukunya, Dong!

"Pinjam bukunya, dong!" Bagaimana reaksi teman-teman jika ada yang mengungkapkan kalimat itu? Meminjamkan buku dengan senang hati? Meminjamkan buku dengan waswas dan kasih pesan atau peringatan macam-macam? Atau menolak sama sekali? Kalau saya, ambil pilihan ketiga: menolak sama sekali. Saya paling anti meminjamkan buku pada orang lain. Silakan bilang saya pelit, sok, gaya, atau apa pun. Tapi saya jadi pelit bukan tanpa alasan. Banyak pengalaman buruk saya berhubungan dengan pinjam-meminjam buku. Buku kembali dalam keadaan lecek/lusuh, rusak, dicoret-coret, bahkan tidak kembali. Dulu saya tidak terlalu peduli ketika buku yang dipinjam rusak atau tidak kembali. Tapi sekarang buku menjadi benda kesayangan yang setelah diadopsi saya rawat dan jaga baik-baik. Jadi jika sampai terjadi kerusakan atau kehilangan pada buku yang dipinjam, jangan salahkan jika saya jadi galak!  Buku saya yang rusak setelah dipinjam teman Foto di atas adalah contoh buku yang ...

Mengenal GERD-Anxiety, dan Adenomiosis

Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis Penulis: ShytUrtle Penerbit: Pena Borneo, Februari 2019 (Cetakan Pertama) Tebal: 285 halaman ISBN: 978-602-5987-28-1 Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis  (selanjutnya, demi kemudahan, saya singkat judul buku ini menjadi AGAA) adalah buku yang menceritakan pengalaman penulisnya (ShytUrtle atau U) selama menderita ketiga penyakit tersebut. Ditulis dengan format seperti buku harian, kita seperti dibawa singgah ke Malang, tanah kelahiran U. Kemudian diperlihatkan kehidupan sehari-hari U yang harus bersahabat dengan GERD-anxiety dan adenomiosis. Banyak sekali pengetahuan yang saya dapat usai membaca AGAA, di samping sederet istilah-istilah kesehatan yang rumit. Diuraikan dengan bahasa sederhana, tapi enak diikuti dan tidak membosankan. Sungguh kagum saya pada U karena bisa dengan tegar menjalani hari-harinya setelah divonis menderita sakit GERD dan kawan-kawan. Selama membaca AGAA rasanya saya seperti ikut merasakan seluruh kesakitan, kesedi...

Kan, Masih Anak-Anak!

Anak-anak selalu digambarkan sebagai sosok yang aktif, lucu, menggemaskan, manja, dan nakal. Kata terakhir inilah yang mengendap begitu lama dalam pikiran saya, sehingga membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan ini. Sampai sejauh mana kenakalan anak-anak masih bisa ditolerir, dianggap wajar? Ada seorang ibu yang berkunjung ke rumah temannya sambil membawa anak kecil. Anaknya sangat aktif, tidak bisa diam. Berlarian ke sana kemari sambil memegang barang-barang milik tuan rumah. Apa saja dipegang. Gelas minuman, toples makanan, helm, hiasan pajangan, keramik ... Sepasang mata sang tuan rumah--yang juga perempuan--tak lepas mengawasi sambil berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan tamunya. Sesekali tersenyum. Namun hatinya berbisik waswas, Aduh, nanti kalau pecah bagaimana, ya? Sementara ibu tamu tetap duduk manis di sebelah tuab rumah, mengobrol dengan serunya. Hanya sesekali berseru, "Adek, jangan! Ayo kembalikan! Jangan ke sana-sana, tidak boleh!" ...