Langsung ke konten utama

Kubacakan Surat Yasiin Untukmu, Mama





Bolehkah membacakan surat Yasiin kepada orang yang akan meninggal?
Banyak orang memperdebatkan hal ini. Yang berpendapat boleh memiliki alasan sendiri, yang berpendapat tidak boleh juga memiliki pertimbangannya sendiri. Tentu saja pendapat-pendapat itu tidak disimpulkan sembarangan, berdasarkan hadis yang diriwayatkan pata rawi. Tapi saya tidak akan membahas mengenai perbedaan pendapat tersebut karena pengetahuan agama saya masih sangat dangkal. Saya hanya akan bercerita tentang pengalaman yang saya alami berhubungan dengan surat Yasiin.
Ramadan, 1434 Hijriyah.
Saya mendapat kabar jika salah seorang kerabat sedang dalam masa kritis.
Kerabat yang dimaksud adalah adik perempuan nenek saya dari pihak ibu. Bisa dikatakan sebagai nenek saya juga, namun saya bersama saudara-saudara sepupu lainnya memanggil beliau dengan sebutan Mama Atik. Mama Atik tinggal berdua saja bersama suaminya karena mereka tidak dikaruniai anak. Mungkin itulah sebabnya ia meminta para cucu keponakan memanggil dengan sebutan Mama Atik. Mama Atik menganggap setiap generasi yang lebih muda dalam keluarga kami sebagai anaknya.
Di usia senja, Mama Atik menderita penyakit kanker payudara yang baru diketahui setelah stadium lanjut. Meskipun sempat dioperasi, Mama Atik menolak menjalani kemoterapi seperti anjuran dokter. Sebagai gantinya Mama Atik beralih ke pengobatan alternatif. Ia bersama suami sering pergi ke luar kota, berikhtiar mencari kesembuhan. Awalnya, setelah operasi dan menjalani pengobatan alternatif di beberapa tempat Mama Atik sudah merasa sangat sehat. Namun beberapa bulan kemudian Mama Atik terpaksa kembali masuk rumah sakit karena ternyata kankernya telah menyebar sampai ke kelenjar getah bening. Kini bahkan lebih parah. Tidak lama, Mama Atik memilih keluar dari rumah sakit. Barangkali karena sudah tidak tahan merasakan sakitnya proses pengobatan, atau mungkin juga merasa letih. Ia sudah pasrah. Pada pertengahan tahun 2013, Mama Atik hanya bisa terbaring di tempat tidur, dirawat oleh suaminya, bergantian dengan seorang keponakan perempuannya, yaitu salah seorang kakak ibu saya.
Siang hari itu, saya bersama adik pergi ke rumah Mama Atik. Sampai di sana sudah banyak saudara-saudara berkumpul. Saya melihat Mama Atik terbaring di kasur ruang tengah dengan infus dan slang yang terhubung ke tabung oksigen. Perawat yang bertugas di klinik dekat rumah beberapa kali datang untuk mengganti tabung tersebut jika oksigennya habis. Napas Mama Atik tinggal satu-satu. Saya tahu apa alasan kami semua dipanggil berkumpul. Menunggu waktu.
Tante saya akhirnya mengusulkan pada suami Mama Atik agar dibacakan surat Yasiin saja. Suami Mama Atik pun setuju. Seseorang ditugaskan memanggil tetangga kanan kiri untuk membaca Yasiin bersama-sama. Beberapa saat kemudian ibu-ibu lain mulai berdatangan. Karena pembacaan surat Yasiin ini tidak direncanakan sebelumnya, jadi tidak tersedia cukup Alquran atau buku Yasiin untuk semua yang hadir. Sebagian orang yang tidak hafal surat Yasiin—termasuk saya—terpaksa hanya diam mendengarkan. Sementara tante saya mulai menuntun Mama Atik membaca kalimat syahadat, membisikkan Laa ilaha illallah di telinganya terus-menerus.
Di awal-awal, Mama Atik masih terbaring diam. Baru pada pertengahan pembacaaan surat, saya melihat tangan dan kakinya bergerak-gerak gelisah. Gerakannya semakin lama semakin... Ah, saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Saat itu saya melihat gerakan Mama Atik seperti meronta-ronta. Seperti ingin terlepas atau terbebas dari sesuatu. Entah apa yang ia rasakan? Saya menyaksikan semua itu dengan tertegun. Apakah ini sakaratul maut? Saya tidak tahu. Yang pasti, Mama Atik yang semula hanya berbaring diam dan tak bisa memberikan respon apa pun, mulai menunjukkan reaksi setelah dibacakan surat Yasiin. Keadaan demikian terus berlangsung sampai sore. Hal ini membuat kami sedikit kebingungan. Di satu sisi kami ingin terus mendampingi Mama Atik, tapi di sisi lain kami juga tidak bisa meninggalkan aktivitas sehari-hari secara total. Tidak ingin menambah kerepotan tuan rumah dengan membuatnya harus menyiapkan makanan buka puasa, saya lalu berpamitan pulang.
Saya berbuka puasa di rumah sambil memikirkan Mama Atik. Usai salat Magrib saya menyempatkan diri membaca surat Yasiin—padahal sebelumnya tidak pernah. Sambil membaca surat Yasiin, saya terus terbayang adegan saat tangan dan kaki Mama Atik bergerak-gerak demikian hebatnya waktu dibacakan surat Yasiin. Tepat setelah menyelesaikan pembacaan ayat terakhir, ponsel saya berbunyi. Salah seorang kakak ibu menelepon dan mengabarkan jika Mama Atik telah tiada. 
Selama ini saya menyimpan pertanyaan, mengapa orang yang akan meninggal (dalam keadaan kritis) selalu dibacakan surat Yasiin? Kenapa bukan surat lainnya? Jawabannya telah datang kepada saya. Allah menunjukkan pada saya kekuatan yang terkandung dalam surat Yasiin melalui Mama Atik. Dan saya baru yakin, bahwa apa yang saya lihat pada Mama Atik adalah memang benar sakaratul maut. Jujur, saya merasa merinding dan takut.
            Menyaksikan sendiri sakaratul maut yang menimpa saudaranya adalah sebuah peringatan berharga. Seperti sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, "Tidaklah berita itu seperti melihat langsung." (HR. At-Tirmidzi).
Kemudian setelah saya membaca tulisan Ustaz Yusuf Mansur yang berbunyi, Ketika kita membaca surat Yasiin, apa pun yang menjadi hajat dan masalahnya, Insya Allah, Allah akan memberikan rahmatnya kepada kita, karena Allah punya segalanya, saya menjadi semakin memahami betapa dahsyatnya kekuatan surat Yasiin.
Apa pun yang menjadi hajat dan masalahnya, bacalah surat Yasiin! Apa pun!


Yogyakarta, 20 Juni 2016


(Tulisan ini dipersembahkan untuk Mama Atik yang telah beristirahat di sisi Allah).
          Terinspirasi dari video Baca Yasiin http://risalahhati.yusufmansur.com/


*Tulisan ini menjadi Juara 3 dalam LENTERA (Lomba Menulis Sambut Berkah Ramadhan) yang diadakan oleh Wisatahati Ustaz Yusuf Mansur dari tanggal 4-30 Juni 2016.

Link asli:
http://kalamuna.yusufmansur.com/kubacakan-surat-yasiin-untukmu-mama/


Sumber foto: Dokumen pribadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pinjam Bukunya, Dong!

"Pinjam bukunya, dong!" Bagaimana reaksi teman-teman jika ada yang mengungkapkan kalimat itu? Meminjamkan buku dengan senang hati? Meminjamkan buku dengan waswas dan kasih pesan atau peringatan macam-macam? Atau menolak sama sekali? Kalau saya, ambil pilihan ketiga: menolak sama sekali. Saya paling anti meminjamkan buku pada orang lain. Silakan bilang saya pelit, sok, gaya, atau apa pun. Tapi saya jadi pelit bukan tanpa alasan. Banyak pengalaman buruk saya berhubungan dengan pinjam-meminjam buku. Buku kembali dalam keadaan lecek/lusuh, rusak, dicoret-coret, bahkan tidak kembali. Dulu saya tidak terlalu peduli ketika buku yang dipinjam rusak atau tidak kembali. Tapi sekarang buku menjadi benda kesayangan yang setelah diadopsi saya rawat dan jaga baik-baik. Jadi jika sampai terjadi kerusakan atau kehilangan pada buku yang dipinjam, jangan salahkan jika saya jadi galak!  Buku saya yang rusak setelah dipinjam teman Foto di atas adalah contoh buku yang ...

Mengenal GERD-Anxiety, dan Adenomiosis

Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis Penulis: ShytUrtle Penerbit: Pena Borneo, Februari 2019 (Cetakan Pertama) Tebal: 285 halaman ISBN: 978-602-5987-28-1 Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis  (selanjutnya, demi kemudahan, saya singkat judul buku ini menjadi AGAA) adalah buku yang menceritakan pengalaman penulisnya (ShytUrtle atau U) selama menderita ketiga penyakit tersebut. Ditulis dengan format seperti buku harian, kita seperti dibawa singgah ke Malang, tanah kelahiran U. Kemudian diperlihatkan kehidupan sehari-hari U yang harus bersahabat dengan GERD-anxiety dan adenomiosis. Banyak sekali pengetahuan yang saya dapat usai membaca AGAA, di samping sederet istilah-istilah kesehatan yang rumit. Diuraikan dengan bahasa sederhana, tapi enak diikuti dan tidak membosankan. Sungguh kagum saya pada U karena bisa dengan tegar menjalani hari-harinya setelah divonis menderita sakit GERD dan kawan-kawan. Selama membaca AGAA rasanya saya seperti ikut merasakan seluruh kesakitan, kesedi...

Kan, Masih Anak-Anak!

Anak-anak selalu digambarkan sebagai sosok yang aktif, lucu, menggemaskan, manja, dan nakal. Kata terakhir inilah yang mengendap begitu lama dalam pikiran saya, sehingga membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan ini. Sampai sejauh mana kenakalan anak-anak masih bisa ditolerir, dianggap wajar? Ada seorang ibu yang berkunjung ke rumah temannya sambil membawa anak kecil. Anaknya sangat aktif, tidak bisa diam. Berlarian ke sana kemari sambil memegang barang-barang milik tuan rumah. Apa saja dipegang. Gelas minuman, toples makanan, helm, hiasan pajangan, keramik ... Sepasang mata sang tuan rumah--yang juga perempuan--tak lepas mengawasi sambil berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan tamunya. Sesekali tersenyum. Namun hatinya berbisik waswas, Aduh, nanti kalau pecah bagaimana, ya? Sementara ibu tamu tetap duduk manis di sebelah tuab rumah, mengobrol dengan serunya. Hanya sesekali berseru, "Adek, jangan! Ayo kembalikan! Jangan ke sana-sana, tidak boleh!" ...