Yogyakarta, 22 Mei 2016
Pak Habibie
yang saya hormati.
Perkenalkan,
saya Liana dari kota Yogyakarta. Saya adalah salah satu dari jutaan pengagum
Pak Habibie di negeri ini. Ketika Pak Habibie menjadi presiden Indonesia, saya
masih duduk di bangku sekolah dasar. Jadi waktu itu saya belum benar-benar
mengerti seperti apa sosok Pak Habibie. Sampai sekarang pun, sesungguhnya saya
hanyalah masyarakat awam yang mengenal Pak Habibie dari media massa, koran,
internet, televisi, dan tentu saja film Habibie
dan Ainun.
Sulit
rasanya memikirkan Pak Habibie tanpa memikirkan almarhumah Ibu Ainun juga. Saya
memang belum sempat membaca buku Habibie
dan Ainun, baru melihat fimnya. Itu pun setelah saya mengikuti acara
wawancara dengan Pak Habibie yang diadakan oleh sebuah stasiun televisi swasta.
Saya bisa merasakan betapa besar rasa cinta Pak Habibie kepada Ibu Ainun dari
semua yang Bapak katakan.
“Terima
kasih Allah, telah Engkau ciptakan Ainun untuk saya, dan saya untuk Ainun...”
Langsung
menetes air mata saya mendengar kalimat itu.
Pak
Habibie, seandainya saya dapat bertatap muka dengan Bapak sebentar saja, ingin
sekali saya mengungkapkan kegelisahan hati sebagai seorang wanita. Berhubungan
dengan apa yang terjadi pada masa-masa ini, di hari-hari ini. Para wanita
direndahkan, dilecehkan, dan diperlakukan tidak manusiawi. Bukan hanya sebagai
korban penganiayaan, perkosaan, atau pembunuhan, tapi juga banyak dari mereka
yang diperbudak, dijadikan sapi perah, serta mendapatkan tindak kekerasan di
dalam keluarga sendiri. Di era globalisasi saat setiap orang selalu meneriakkan
emansipasi, namun semua nyaris tak berarti. Kemudian saya bertanya-tanya, masih
adakah tempat terhormat bagi kaum hawa di dunia? Apakah masih ada kaum adam
yang menghargai keberadaan kami sebagai manusia?
Saya
belum lagi menjadi wanita sejati yang memiliki gelar istri dan ibu bagi para
buah hati. Namun berita-berita buruk semacam itu sungguh membuat saya gentar.
Kemudian di tengah kepiluan itu, saya teringat dengan Pak Habibie dan Ibu
Ainun. Cerita oase di tengah padang pasir. Tentang sepetak tanah di samping makam
Ibu Ainun yang dikosongkan dan konon katanya atas permintaan Pak Habibie.
Tentang bunga mawar yang tak pernah layu, selalu segar karena diganti setiap
hari. Tentang kunjungan dan sapa yang tak pernah berhenti, meski kekasih telah
tertidur dengan damai di pangkuan Ilahi... Saya memang belum menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, tapi saya percaya bahwa semua itu benar adanya.
Saya
tersenyum di tengah kegetiran. Di mana saya bisa menemukan pria seperti Pak
Habibie? Apakah sebagai wanita saya juga punya keberuntungan seperti Ibu Ainun?
Entahlah! Tapi semoga saja harapan saya—dan orang lain—yang menjadikan Pak
Habibie dan Ibu Ainun sebagai pasangan idola tidak dianggap terlalu muluk.
Setidaknya
melalui surat ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada Pak Habibie karena
telah mencintai Ibu Ainun dengan sangat tulus di dalam kesetiaan hingga ajal
memisahkan. Karena sebagai wanita, saya sangat tersentuh... saya merasa harus
berterima kasih juga pada Pak Habibie. Jika Pak Habibie tidak bermurah hati
menuliskan kisah Bapak bersama istri, mungkin sebagian wanita yang sudah
pesimis melihat keadaan dunia sekarang—saya salah satunya—akan tenggelam dalam
keputusasaan, tidak percaya lagi dengan adanya cinta sejati. Saya yakin saat
ini almarhumah Ibu Ainun sedang tersenyum melihat Pak Habibie menerima balasan
cinta dari Allah. Sebagian kecil adalah melalui surat-surat yang ditulis para
pengagum Pak Habibie.
Dan
saya memiliki sebuah puisi untuk Pak Habibie.
Harapan
di Hari Istimewa
Menolehkan kepala menatap jalan panjang di belakang
Senja telah datang, dan sebentar lagi langit petang
Jejak kaki tersapu angin lalu menghilang
Namun ada sebagian kuharap tak lekang,
kekal dalam kenang
Mungkin usaha-usaha kecilku dalam membangun negara dan
bangsa
Mungkin berbagai upayaku untuk membahagiakan keluarga
Mungkin goresan penaku ketika membentuk sebuah cerita
Mungkin kasih dan cintaku pada sang belahan jiwa
Mungkin keteguhanku dalam menjalankan perintah agama
Aku tak tahu...
Bagiku,
tak penting lagi seberapa enak rasa aneka makanan dan roti
tak penting lagi seberapa manis sirup yang membasahi lidah
dan gigi
tak penting lagi seberapa banyak kotak hadiah yang menumpuk
tinggi
tak penting lagi seberapa sering orang yang datang menyalami
Aku hanya ingin
menebar lebih banyak maaf dan terima kasih
pada semua orang terkasih
menggosok setiap noda sampai bersih
hingga hati memancarkan cahaya putih
Membuat diri terlahir kembali
diiringi syukur atas segala karunia Ilahi
SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 80 UNTUK PAK HABIBIE
Indonesia bangga memiliki Pak
Habibie...
Salam
*Surat ini adalah surat terpilih dalam lomba Letters
to Habibie yang diadakan oleh penerbit Tiga Serangkai dalam rangka
merayakan ulang tahun Pak Habibie ke 80 tahun 2016. Dimuat dalam buku Habibie
the Series.
Sumber foto: Dokumen pribadi
Sumber foto: Dokumen pribadi

Komentar
Posting Komentar