Berbicara tentang drama Korea, siapa yang tidak tahu Winter’s Sonata? (selanjutnya disingkat WS).
Meskipun sudah enam tahun berlalu sejak masa penayangannya yang pertama di
Korea, namun popularitasnya masih belum pudar. Ada dua alasan mengapa saya
memilih WS untuk menulis esai ini. Alasan yang ditimbulkan karena kesuksesan WS
begitu luas, bahkan sampai pada kehidupan pribadi para penggemar. Ditambah lagi
dengan dampaknya secara tidak langsung di bidang pariwisata, ekonomi, politik,
sosial, dan budaya. Alasan kedua, saya memiliki pengalaman tak terlupakan
bersama WS.
Ketika WS tayang pertama kali di Indonesia pada tahun 2002,
awalnya saya tidak tertarik. Saya mulai menaruh perhatian pada drama karya
sutradara Yoon Seok Ho ini setelah menyaksikan akting Bae Yong Jun dalam HOTELIER. Kemudian saya membaca banyak
artikel yang memberitakan betapa dahsyatnya gelombang WS di luar Korea, hati
saya pun tergerak. Seberapa besarkah sebenarnya kekuatan yang dimiliki sebuah
drama berjudul Winter’s Sonata ini?
Saya jadi penasaran ingin menontonnya. Lalu kesempatan datang dua tahun
kemudian. Melalui jadwal acara televisi di tabloid, saya mengetahui jika WS
ditayangkan ulang pada jam 02.30 WIB dini hari! Saya berpikir ini hal gila. Siapa
yang mau menonton televisi di pagi-pagi buta saat semua orang masih tidur?
Namun karena rasa penasaran saya begitu besar, akhirnya setiap hari Senin
sampai Jumat saya bangun jam setengah tiga pagi untuk menonton WS. Itu pun saya
tertinggal beberapa episode. Saya baru bisa menonton WS secara penuh setelah
drama ini ditayangkan ketiga kalinya pada tahun 2005 pada jam lima sore.
Meskipun saya menonton dalam keterpaksaan, namun hasilnya
tidak mengecewakan. Rasa kantuk saya seketika hilang. Mata saya terbuka lebar
menatap pemandangan indah musim dingin berselimut salju tebal, dibuai alunan
musik sendu mendayu-dayu, perasaan pun menjadi tergetar ketika mengikuti alur
cerita mengharukan serta dialog yang begitu dalam dan berkesan. Ditambah dengan
senyum lembut Bae Yong Joon dan wajah manis Choi Ji Woo, sulit rasanya untuk
tidak jatuh hati pada WS. Akhirnya bisa ditebak, jam istirahat saya menjadi
berkurang karena selalu bangun lebih awal demi mengikuti kelanjutan cerita WS. Sungguh
aneh... saya menonton drama musim dingin, di hari yang dingin, namun hati saya
terasa hangat. Hingga sekarang saat saya mengingatnya kembali, masih ada
kehangatan menyelusup seperti dulu. Membuat saya merindukan saat-saat itu, menonton
drama Korea menjelang pagi untuk mengawali hari.
Yang juga menjadi pusat perhatian dalam WS adalah kalung Polaris
atau sering disebut sebagai bintang utara. Sebuah benda kenangan dan simbol
cinta sejati antara Joon Sang dan Yoo Jin. Sutradara Yoon mengatakan apa
alasannya memilih polaris. “Polaris itu bintang tidak bergerak. Dia akan
senantiasa tinggal di tempatnya. Aku menyimbolkan bintang ini sebagai cinta
abadi yang selalu setia di satu hati.” Namun apabila kita melihat pada
kenyataan yang sebenarnya, bintang utara tidaklah selalu Polaris. Di tahun 2000
bintang Polaris merupakan bintang utara, tapi di tahun 14000, bintang Vega akan
menjadi bintang utara.
Saya memiliki kebiasaan aneh atau bisa dikatakan tidak masuk
akal pada saat menonton drama Korea. Yaitu selalu mencatat kalimat-kalimat
dalam dialog yang menurut saya indah atau berkesan. Di episode-episode awal WS,
diceritakan Joon Sang mengajak Yoo Jin berjalan-jalan. Joon Sang berkata, “Apakah
kau pernah mendengar cerita tentang negeri bayangan? Ada seorang laki-laki yang
pergi ke Negeri Bayangan, tapi seluruh bayangan itu tidak mau berbicara
dengannya. Laki-laki itu jadi kesepian. Selesai.”
Latar belakang musim dingin yang menghiasi sepanjang cerita
WS menjadi faktor penting untuk memperkuat suasana cerita. Sejauh mata
memandang, semua tempat diselimuti salju, mencerminkan kesepian tanpa batas,
dingin, dan sunyi. Saya seolah dapat membayangkan seseorang sedang berjalan
sendirian di tengah hamparan salju. Tanpa arah, tanpa tujuan. Dan seperti
itulah suasana hati Yoo Jin ketika mengenang Joon Sang di tempat-tempat yang
pernah mereka kunjungi. Hanya dengan melihat itu semua saja saya sudah merasa
pilu. Ini menunjukkan bahwa WS sangat berhasil menciptakan sebuah “Negeri
Bayangan” seperti yang diceritakan Joon Sang.
Selain tempat, musik juga memiliki peranan tak kalah
penting. Gesekan biola naik turun dengan teratur di tengah denting piano adalah
perpaduan dua alat musik yang dapat menciptakan suasana sedih secara sempurna.
Seperti jeritan hati Joon Sang dan Yoo Jin, sepasang anak manusia yang saling
mencintai namun dipermainkan oleh ganasnya badai salju nasib. Teman saya sekali
waktu pernah berkomentar jika lagu utama WS, 처음부터 지금까지 (Cheoeumbutheo Jigeumkkaji—From the Beginning Till
Now) adalah lagu
yang menakutkan. Mungkin karena lagu ini benar-benar terlalu sedih sehingga ada
orang yang pada saat mendengarnya jutru merasa takut. Sampai sekarang saya
belum bisa menemukan lagu lain yang kesedihannya menandingi lagu From the Beginning Till Now. Nyanyian
musim dingin yang membuat bulu kuduk berdiri. Pilu... begitu memilukan,
menggetarkan, sekaligus menenangkan. Gambar dan musik selaras, membuat setiap
adegan WS menguras air mata penonton.
Seiring dengan berjalannya waktu dan
berkembangnya kreativitas para pembuat cerita, tema sejenis WS saat ini kurang
diminati. Drama Korea zaman sekarang sudah lebih bervariasi, lebih kaya dengan
ide-ide baru dan berani. Walaupun demikian, tampaknya drama Korea akan sulit
lepas dari imej kelabu. Saat orang mendengar kata drama Korea, yang terbayang di benaknya pasti adalah kisah cinta
diwarnai kesedihan, penantian, kesetiaan, pengorbanan, dan sarat air mata.
Diakui atau tidak, yang jelas WS membuat anggapan semacam ini terlanjur berakar
di hati para pecinta drama Korea, jasanya juga besar. Kepopuleran WS-lah yang
mendorong drama Korea menjadi terkenal ke seluruh dunia.
Jika bintang utara
bisa berpindah di tahun 14000, lalu bagaimana dengan drama Korea? Apakah di
kemudian hari kedudukannya akan tergeser oleh drama dari negara dari negara
lain? Asalkan bisa terus meningkatkan kualitas, saya yakin dapat bertahan di
puncak dunia. Begitu juga WS, yang akan
tetap bersinar sepuluh ribu tahun kemudian seperti Polaris, menajadikannya
sebuah legenda yang layak dikenang sepanjang masa.
*Esai ini ditulis pada tahun 2008, dibacakan pada
siaran KBS World Radio pada tanggal 27 Desember 2008.
Komentar
Posting Komentar