Langsung ke konten utama

Belajar Kesabaran Tanpa Batas dari Topi Hamdan

Judul: Topi Hamdan
Penulis: Auni Fa
Penerbit: METAMIND (Tiga Serangkai)
Cetakan: November, 2017
Tebal: 346 halaman


Hal pertama yang membuat saya tertarik untuk membeli buku ini adalah cover-nya yang berwarna-warni dengan ilustrasi seorang kakek tua dan berbagai binatang. Saya segera menebak jika buku ini berhubungan dengan dongeng. Karena saya sangat suka membaca dongeng, tak perlu banyak pertimbangan untuk membawanya ke meja kasir.

Hamdan memiliki nasib yang sangat malang sejak kecil. Setelah ayahnya meninggal, ia hidup miskin bersama sang ibu--seorang guru TK yang hanya dibayar beras. Keadaan semakin buruk setelah ibu Hamdan menikah dengan lelaki pemarah dan kasar. Ayah tiri Hamdan juga membawa seorang anak perempuan bernama Sumik, hasil dari pernikahan pertamanya. Secara terang-terangan ayah tiri itu lebih menyayangi Sumik, membuat Hamdan harus mengalah dalam segala hal, merelakan semua yang dimiliki dirampas saudara tirinya. Bahkan, Hamdan harus berhenti sekolah. Hanya dongeng-dongeng dari ibu yang menjadi hiburan saat Hamdan sedang bersedih. Suatu ketika ibu Hamdan sakit keras. Merasa ajalnya akan tiba, ibu Hamdan mengucapkan kata-kata perpisahan. Memberi tahu anak lelaki satu-satunya  bahwa tak ada warisan apa pun yang bisa diberikan kecuali dongeng-dongeng yang pernah ia tuturkan.

Hamdan hidup sebatang kara. Terus bertahan menghadapi kegetiran hidup berbekal dongeng-dongeng warisan ibunya. Setelah dewasa Hamdan-lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Mencari uang dengan menjahit dan menjual topi pelukis. Tapi kerja keras Hamdan tak juga dihargai oleh ayah dan saudara tirinya. Sumik dan dan ayahnya malah bersekongkol untuk menyingkirkan Hamdan agar bisa menguasai rumah reyot peninggalan sang ibu.

Sumik memfitnah Hamdan membunuh ayahnya. Tak mampu memberi pembelaan, Hamdan dipenjara. Hanya kesabaran luar biasa yang membuat Hamdan mampu melalui masa hukuman tiga puluh tahun. 

Hamdan berharap dapat menikmati kebebasan setelah keluar dari penjara. Namun ia justru dibuang oleh keponakannya sendiri (anak Sumik) ke panti jompo. Melalui hari-hari membosankan, Hamdan ingin bangkit. Ia ingin membuat topi seperti masa mudanya dulu. 
 
Apakah cita-cita Hamdan di usia senjanya bisa terwujud?

Membaca Topi Hamdan sejenak membuat saya berpikir, kenapa orang baik selalu dizalimi? Juga perdebatan Hamdan dengan ibunya tentang sabar, selalu mengusik pikiran saya.

Saya memberi nilai 80 dari 100 untuk novel ini. Ceritanya sangat menyentuh, sarat akan nilai moral, dan pelajaran hidup. Saya tidak setuju jika ada yang menganggap dongeng (dongeng binatang, tumbuh-tumbuhan, kurcaci, dan makhluk aneh) hanya untuk anak-anak. Dongeng untuk siapa saja, tanpa dibatasi usia. Memberi nasihat melalui dongeng, adalah salah satu cara yang sangat efektif.
Barangkali yang membuat saya agak kurang "sreg" adalah karakter Hamdan yang digambarkan terlalu cengeng. Sedikit-sedikit menangis. Sekali dua kali tidak apa-apalah. Tapi kalau setiap kena masalah menangis? Bagaimanapun Hamdan adalah laki-laki. Menunjukkan kesabaran tidak melulu dengan menangis, pasrah. Kalau sosok Hamdan digambarkan lebih tegar, kadang menunjukkan amarah dan perlawanan (meski pada akhirnya kalah) mungkin terlihat lebih gentle, ya.

Kemudian perpindahan sudut pandang dari POV 3 ke POV 1 di tengah-tengah cerita, cukup mengganggu. Karena perpindahan POV tidak diikuti dengan perpindahan bab atau tidak diberi tanda. Tapi saya bisa memahami keseluruhan cerita dengan mudah.

Kembali pada perdebatan Hamdan dengan ibunya.
Apakah kesabaran ada batasnya?

Dulu saya selalu protes jika ada orang yang berkata bahwa kesabaran itu tak terbatas.
Namun ketika saya membaca Topi Hamdan, di waktu hampir bersamaan saya menemukan satu kalimat.

"Tiada rezeki yang diberikan kepada seorang hamba, yang lebih baik dan lebih luas baginya daripada sabar." (H.R. Imam Bukhari)

Maka sebagai seorang muslim, tentulah saya mempercayainya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pinjam Bukunya, Dong!

"Pinjam bukunya, dong!" Bagaimana reaksi teman-teman jika ada yang mengungkapkan kalimat itu? Meminjamkan buku dengan senang hati? Meminjamkan buku dengan waswas dan kasih pesan atau peringatan macam-macam? Atau menolak sama sekali? Kalau saya, ambil pilihan ketiga: menolak sama sekali. Saya paling anti meminjamkan buku pada orang lain. Silakan bilang saya pelit, sok, gaya, atau apa pun. Tapi saya jadi pelit bukan tanpa alasan. Banyak pengalaman buruk saya berhubungan dengan pinjam-meminjam buku. Buku kembali dalam keadaan lecek/lusuh, rusak, dicoret-coret, bahkan tidak kembali. Dulu saya tidak terlalu peduli ketika buku yang dipinjam rusak atau tidak kembali. Tapi sekarang buku menjadi benda kesayangan yang setelah diadopsi saya rawat dan jaga baik-baik. Jadi jika sampai terjadi kerusakan atau kehilangan pada buku yang dipinjam, jangan salahkan jika saya jadi galak!  Buku saya yang rusak setelah dipinjam teman Foto di atas adalah contoh buku yang ...

Mengenal GERD-Anxiety, dan Adenomiosis

Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis Penulis: ShytUrtle Penerbit: Pena Borneo, Februari 2019 (Cetakan Pertama) Tebal: 285 halaman ISBN: 978-602-5987-28-1 Aku, GERD-Anxiety, dan Adenomiosis  (selanjutnya, demi kemudahan, saya singkat judul buku ini menjadi AGAA) adalah buku yang menceritakan pengalaman penulisnya (ShytUrtle atau U) selama menderita ketiga penyakit tersebut. Ditulis dengan format seperti buku harian, kita seperti dibawa singgah ke Malang, tanah kelahiran U. Kemudian diperlihatkan kehidupan sehari-hari U yang harus bersahabat dengan GERD-anxiety dan adenomiosis. Banyak sekali pengetahuan yang saya dapat usai membaca AGAA, di samping sederet istilah-istilah kesehatan yang rumit. Diuraikan dengan bahasa sederhana, tapi enak diikuti dan tidak membosankan. Sungguh kagum saya pada U karena bisa dengan tegar menjalani hari-harinya setelah divonis menderita sakit GERD dan kawan-kawan. Selama membaca AGAA rasanya saya seperti ikut merasakan seluruh kesakitan, kesedi...

Kan, Masih Anak-Anak!

Anak-anak selalu digambarkan sebagai sosok yang aktif, lucu, menggemaskan, manja, dan nakal. Kata terakhir inilah yang mengendap begitu lama dalam pikiran saya, sehingga membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan ini. Sampai sejauh mana kenakalan anak-anak masih bisa ditolerir, dianggap wajar? Ada seorang ibu yang berkunjung ke rumah temannya sambil membawa anak kecil. Anaknya sangat aktif, tidak bisa diam. Berlarian ke sana kemari sambil memegang barang-barang milik tuan rumah. Apa saja dipegang. Gelas minuman, toples makanan, helm, hiasan pajangan, keramik ... Sepasang mata sang tuan rumah--yang juga perempuan--tak lepas mengawasi sambil berusaha mendengarkan apa yang dibicarakan tamunya. Sesekali tersenyum. Namun hatinya berbisik waswas, Aduh, nanti kalau pecah bagaimana, ya? Sementara ibu tamu tetap duduk manis di sebelah tuab rumah, mengobrol dengan serunya. Hanya sesekali berseru, "Adek, jangan! Ayo kembalikan! Jangan ke sana-sana, tidak boleh!" ...