BUKAN CINTA MONYET
Penulis: Purnama Teduh
Penerbit: Laksana
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 348 halaman
ISBN: 978-602-407-423-4
Novel "Bukan Cinta Monyet" mengambil setting di Lombok. Menyoroti tradisi "memaling", yaitu gadis-gadis di Lombok harus dicuri atau diculik terlebih dahulu sebelum dinikahi.
Mandalika Putri adalah seorang guru ekstrakurikuler karate. Salah satu muridnya, Lalu Indar Bangsawan dengan berani menyatakan cinta pada gurunya tersebut. Lika yang menganggap Indar masih remaja ingusan, tentu tidak menganggap serius. Lagi pula pada waktu yang bersamaan Lika tengah menjalin hubungan dengan seorang pria sesama guru, Arung Samudra. Indar harus menerima kenyataan pahit bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Lika sangat berharap dirinya bisa menikah dengan Arung. Selain karena sudah dilangkahi sang adik yang menikah lebih dulu, dia tak sanggup lagi lebih lama menebalkan telinga mendengar gunjingan orang sekampung.
Namun tanpa diduga Arung mengabarkan jika dirinya akan melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa. Lika diminta menunggu dua tahun untuk mewujudkan pernikahan mereka. Dengan berat hati, akhirnya Lika menyanggupi.
Menjalin hubungan jarak jauh ternyata tidak mudah. Hanya di bulan-bulan pertama saja Arung sering menelepon dan mengirim pesan pada Lika. Selanjutnya sulit dihubungi.
Pada saat itu, Indar, mantan murid SMA Lika tiba-tiba muncul. Pemuda itu masih menunjukkan gelagat menyukai Lika. Indar juga sering bertandang (bahasa gaulnya apel) ke rumah Lika. Ketika Indar mengira ada harapan untuknya, Arung yang sudah lebih dari setahun hilang kontak dengan Lika, pulang ke Lombok menyatakan siap melamar Lika.
(Sebagian daerah di Lombok menganggap bahwa menikah dengan cara dilamar lebih terhormat, meskipun tidak menutup kemungkinan mereka menerima adat kawin lari. Dalam novel ini, orangtua Lika menginginkan anak gadisnya dilamar.)
Tentu saja, Lika langsung menceritakan soal niat lamaran Arung pada Indar, agar Indar segera mundur. Indar memberi tanggapan biasa saja.
Keesokan harinya Indar mengajak Lika pergi melihat Festival Mandalika. (Nama Lika diambil dari nama seorang putri dalam sebuah dongeng di Lombok. Dan Festival Mandalika masih berhubungan erat dengan dongeng tersebut.) Mulanya Lika akan menolak, tapi Indar berkata bahwa ini adalah permintaan terakhirnya sebelum Lika menikah. Akhirnya Lika pergi bersama Indar.
Lika yang baru pertama kali melihat Festival Mandalika tidak tahu kalau festival tersebut berlangsung sampai malam. Begitu langit gelap, Lika meminta diantar pulang. Di Lombok, jika seorang laki-laki dan perempuan pergi bersama dan pulang kemalaman (di dalam novel ini diceritakan, setelah Magrib saja sudah dianggap telat pulang), meskipun tidak ada hal yang terjadi, mereka akan dinikahkan.
Namun setelah meninggalkan tempat festival, Indar membawa Lika berputar-putar dengan motornya sampai jauh. Mereka berhenti di depan sebuah rumah. Indar berkata, "Kita menikah, ya?"
Lika mengira Indar bercanda. Tapi tidak, Indar tidak sedang bercanda. Mereka sekarang sedang berada di depan rumah bibi Indar. Begitu di luar terdengar suara-suara, orang yang ada di dalam rumah langsung keluar dan berseru, "Eh, penganten uwah dateng?" (Eh, pengantin sudah datang?)
Seperti yang sudah dijelaskan, melarikan anak gadis sebelum dinikahi dianggap sah di Lombok. Namun dalam proses memaling itu, pihak keluarga perempuan tidak boleh tahu. Jadi benar-benar dimaling. Ketika memaling, sang lelaki pun tidak melakukannya sendiri. Dia harus meminta bantuan orang lain (teman atau saudara) sebagai saksi. Setelah dimaling, sang gadis tidak dibawa langsung ke rumah lelakinya, tapi ke suatu tempat yang tidak diketahui--biasanya kerabat sang lelaki. Di sana sang gadis disambut, diberikan jamuan. Setelah tiga hari sang gadis di rumah kerabat sang lelaki, barulah pihak keluarga lelaki mengirimkan "jati selabar" (kabar pernikahan melalui perantara kepala kampung). Setelah itu keluarga lelaki didampingi kepala kampung membicarakan "ajigame" (harga-harga yang harus dibayar/mas kawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Bila kesepakatan telah tercapai, akan dilanjutkan dengan prosesi "nyongkolan" (arak-arakan pengantin dari rumah pengantin pria menuju rumah pengantin wanita).
Dalam novel ini digambarkan orangtua atau anggota keluarga lain tidak bisa intervensi atas pernikahan anak gadis. Pada saat mengetahui kabar pernikahan Lika--meskipun sebelumnya sudah menduga jika anaknya akan menikah karena tidak pulang, dan hal ini lumrah terjadi--kedua orangtua Lika menangis meraung-raung. Ekspresi dari kelegaan karena si anak gadis akhirnya telah menikah, sekaligus syok karena kehilangan secara tiba-tiba.
Keluarga Lika tetap bersiap-siap menerima anggota keluarga Indar. Mereka datang ke rumah keluarga Indar untuk melakukan ijab qobul. Tapi kemudian semua orang gempar karena pengantin wanitanya kabur. Indar tidak mau menikah dengan Indar, karena dia hanya mau menikah dengan Arung! Wah, bagaimana ini?
Mungkin nanti ada yang bertanya, kenapa Lika tidak menolak saja pada saat Indar melarikannya? Tidak semudah itu. Karena setelah sang gadis diculik dan sampai di "rumah pelarian", secara adat dia sudah diterima sebagai anggota keluarga lelaki. Membatalkan pelarian, atau jika sang lelaki mengembalikan gadis yang telah dilarikannya, akan dianggap sebagai aib dan akan mendapat hukuman sosial. Jadi kalau sudah melarikan anak gadis ya, harus dinikahi.
Mau tahu lanjutan cerita Indar dan Lika? Beli saja bukunya! "Bukan Cinta Monyet" merupakan novel pertama yang saya tamatkan tahun 2019 ini, sekaligus menjadi novel favorit. Dituturkan dengan bahasa Indonesia formal, menggambarkan adat-istiadat Lombok dengan sangat detail--"Bukan Cinta Monyet" berhasil menyuguhkan kisah romantis (setidaknya dalam benak saya). Membuat diri terenyak dan tersadar, ternyata cerita setting lokal pun tak kalah dengan drama Korea. Dijamin tidak akan menyesal membacanya! Hanya saja, bagi yang tidak suka kalimat-kalimat panjang, mungkin harus sedikit lebih bersabar.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus