Beberapa waktu lalu, saat berjalan kaki pulang dari kantor pos, aku melihat seorang ibu pencari botol bekas berdiri di tepi jalan raya. Sepertinya mau menyeberang. Ibu tersebut memakai topi dengan pakaian lusuh. Dia menggendong sebuah bakul dari anyaman bambu berisi botol-botol kosong bekas air minum.
Tiba-tiba aku teringat dengan botol-botol kosong yang teronggok di belakang rumah. Setiap kali membeli dan menghabiskan minuman ringan, aku dan keluarga menumpuk botolnya begitu saja di dalam karung, sampai terkumpul banyak sekali.
Kemudian aku dekati ibu bertopi itu (demi kemudahan bercerita, selanjutnya kita sebut saja beliau dengan Ibu Bertopi). "Bu, di rumah saya ada banyak botol kosong, Ibu mau, tidak?"
Tanpa pikir panjang, Ibu Bertopi langsung menyambut tawaran saya dengan gembira, "Iya, mau! Mau! Mbaknya rumahnya di mana, nggih?"
"Itu Bu, di Desa Mo." Aku menunjuk ke arah jalan lurus di depan. "Cuma masuk gang di situ. Atau Ibu mau ikut saya saja?"
"Nggih! Nggih!" (Ya! Ya!)
Maka, aku dan Ibu Bertopi berjalan beriringan menuju rumah. Baru beberapa meter berjalan, Ibu Bertopi menceritakan sendiri kisahnya padaku. "Kula sampun pirang-pirang dinten mboten kerja. Nunggu bapak teng rumah sakit. Lagi mangkat sakniki. Niku mawon namung angsal botol sekedhik, Mbak." (Saya sudah berhari-hari tidak kerja. Nunggu bapak/suami di rumah sakit. Baru berangkat hari ini. Itu saja cuma dapat botol sedikit, Mbak.)
"Oh, suaminya sakit? Sakit apa?"
"Diabetes. Mondok di rumah sakit LH. Sekarang sudah pulang, tapi ya belum bisa apa-apa. Habis ini saya mau langsung pulang, kasihan bapak di rumah sendiri, nggak ada yang urus."
Ah, batinku seketika terenyuh. Berkali-kali ada tukang loak lewat depan rumah, aku selalu lupa mau panggil buat bawa botol, sekarang dipertemukan dengan Ibu Bertopi. Aku yakin, di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur. "Anaknya di mana, Bu?"
"Anak saya ya, ngurusi keluarganya. Cucu saya masih kecil, belum bisa ditinggal."
Tak lama kemudian kami berbelok masuk sebuah jalan kampung. Di depan kami berdiri sebuah rumah joglo besar dan megah. Itu adalah rumah Pak Dukuh, orang yang sangat dihormati di kampung.
"Saya dulu sering lewat sini, Mbak. Tapi sejak rumah ini dibangun, saya tidak pernah lewat jalan ini lagi."
Saya memahami maksud Ibu Bertopi. "Ah, tapi kalau cuma lewat kan, nggak apa-apa, Bu."
Ibu Bertopi tertawa. "Yah... namanya juga orang banyak, Mbak. Pikirannya kan, macam-macam. Ada yang biasa saja, ada yang curiga ini itu."
Otakku berputar, mengingat tulisan-tulisan yang kadang aku temui ketika akan memasuki sebuah wilayah. "PEMULUNG DILARANG MASUK!"
Aku juga ingat satu kejadian bertahun-tahun lalu. Saat aku masih sekolah, ada seorang pemulung masuk ke Desa Mo. Pemulung itu laki-laki, masih muda dan bugar. Dia ketahuan mengambil sandal milik anak seorang warga sehingga menimbulkan keributan. Kukira kejadian semacam ini hanyalah kasus khusus yang jarang terjadi. Tapi dari yang diceritakan Ibu Bertopi, tampaknya cukup sering ditemui pemulung yang "nakal". Sampai harus muncul larangan seperti itu. Sampai pemulung yang baik-baik saja pun harus terkena imbasnya.
Tiba di rumah, aku membukakan pintu gerbang garasi dan mempersilakan Ibu Bertopi masuk.
"Nggak usah, Mbak, saya tunggu di luar saja."
"Ayo Bu, masuk saja. Ambil sendiri botolnya. Barangnya banyak, saya repot kalau harus gotong ke sini," aku meyakinkan.
Akhirnya Ibu Bertopi masuk ke dalam rumah dengan sungkan. "Assalamualaikum..."
Aku bawa Ibu Bertopi ke belakang rumah dan kutunjukkan sekarung besar botol kosong yang menumpuk di sana. "Itu, Bu. Ambil saja botolnya, daripada menumpuk di sini."
Ibu Bertopi terlihat senang melihat botol kosong sebanyak itu, tapi juga bingung karena tidak bawa karung. Aku bilang bawa saja sama karungnya sekalian.
Sambil memunguti botol kosong yang tercecer, Ibu Bertopi pun kembali bercerita. Selain harus mengurus suaminya yang sakit, ada cucunya dari anak lain yang kini menjadi tanggungannya karena ayahnya sudah meninggal. Dia juga membanggakan anak yang satunya lagi. "Anak saya cuma lulusan SMA, kok, Mbak. Nggak punya biaya buat lanjut kuliah."
(Batinku, Sama saja, Bu, saya juga cuma lulusan SMA.)
"Sekarang dia kerja jadi sopir gojek. Alhamdulillah, meski cuma sedikit, tapi bisa buat tambah-tambah biaya hidup. Yang penting kerja halal."
Setelah selesai memasukkan botol ke dalam karung dan dua kantong plastik, Ibu Bertopi bertanya memastikan, "Ini tidak ada barang masih dipakai yang ikutan di dalam kan, Mbak?"
"Tidak ada, Bu. Botol-botol itu sudah saya pilah-pilah, tinggal dibawa saja."
"Ya sudah kalau begitu. Waktu itu juga pernah, saya dikasih botol sama Bu XX. Ternyata di plastik ada kunci gembok banyak sekali. Saya balik lagi ke rumahnya, saya kembalikan."
Ya Allah, betapa jujurnya ibu ini...
Saat menggendong kembali bakul yang sudah penuh sambil menenteng sekarung botol kosong, Ibu Bertopi mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil melantunkan sebaris doa.
Bisa apalagi aku selain meng-Aamiin-kan?
Menatap punggungnya yang semakin menjauh dan mengecil, tiba-tiba aku merasa pilu. Terbayang jika seandainya Ibu Bertopi itu adalah ibuku...
Sumber gambar: PIXABAY
Komentar
Posting Komentar