SAYA NUJOOD, USIA 10 DAN JANDA
Penulis: Nujood Ali (bersama Delphine Minoui)
Penerbit: Pustaka Alvabet, Cetakan 7, April 2013
Tebal: 236 halaman
ISBN: 978-979-3064-87-1
Saat pertama kali menemukan buku ini di toko dan membaca blurb-nya, saya bimbang--antara mau membeli atau tidak. Karena Saya Nujood, Usia 10 dan Janda (SNUSDJ) mengangkat tentang tema utama "ketertindasan perempuan" yang sudah pasti akan membuat saya geram. Tapi rasa penasaran menggerakkan tangan saya untuk membawanya ke kasir.
Buku yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan tentang gadis kecil dari Yaman bernama Nujood yang dipaksa menikah di usia 10 tahun. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2008 dan sempat disorot oleh berbagai media di dunia. Memaksa pemerintah Yaman untuk membuat undang-undang pembatasan usia minimal pernikahan bagi warganya.
Nujood Ali terlahir dalam sebuah keluarga sederhana di wilayah pedesaan Khardji. Orangtuanya Nujood seperti keluarga di Yaman pada umumnya, memiliki belasan anak. Suatu malapetaka memaksa keluarga Nujood pindah dari Khardji ke ibu kota Sana'a yang muram dan keras. Ayah Nujood berusaha mencari pekerjaan, tapi keluarga mereka tetap tak dapat keluar dari cengkeraman kesulitan ekonomi.
Nujood lalu dipaksa menikah dengan lelaki yang berusia tiga kali lipat usianya dengan alasan, mengurangi satu mulut yang harus diberi makan. Sungguh, saya heran sekali... Meskipun orangtua Nujood pendidikannya kurang, apakah bagi mereka arti seorang anak hanyalah "beban memberi makan"? Kalau memiliki anak dirasa sangat merepotkan, kenapa bikin anak terus? Dan kenapa ayah Nujood malah menambah istri? Ah, lupakan pertanyaan tak terjawab ini!
Ayah Nujood meminta calon menantunya berjanji untuk tidak menyentuh Nujood sampai anak itu mengalami haid pertama. Namun janji hanya sampai di mulut. Setelah pesta pernikahan usai dan Nujood dibawa ke rumah suaminya, malam itu juga Nujood diperkosa. Ibu mertua dan saudara-saudara ipar Nujood menjadi teman sekongkol yang menjerumuskan Nujood ke dalam kamar neraka. Pagi harinya Nujood dibangunkan dengan ucapan "Mabruk!" (Selamat!)
Yah..., bagi saya itu sama sekali tidak selamat, tapi CELAKA!
Di rumah suaminya Nujood diperlakukan seperti pembantu, disuruh mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Di malam hari Nujood harus melayani suaminya, jika tidak mau dia akan dipukuli dengan tangan kosong atau tongkat.
Pada saat pulang ke rumah suaminya, Nujood menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Dia pergi ke rumah istri kedua ayahnya, Dowla, untuk meminta pertolongan. Dowla lalu membekali Nujood sejumlah uang, mengarahkannya pergi ke pengadilan.
Di pengadilan Nujood bertemu dengan Shada, pengacara perempuan yang kemudian membantunya mengurus proses perceraian.
Usai menamatkan SNUSDJ banyak hal yang saya pikirkan. Tentang nasib para perempuan di belahan dunia lain yang masih terbelenggu berbagai aturan tradisi--yang sangat tidak adil. Juga pada beberapa keadaan memprihatinkan sekaligus tidak masuk akal.
Ayah Nujood, misalnya. Buta huruf, tidak punya pekerjaan tetap--bahkan sering menganggur. Punya anak banyak yang dia sendiri saja kesulitan membesarkannya, tapi masih mau menikah lagi. Anak perempuan hanya seperti komoditas, bisa dipertukarkan dengan sejumlah uang sebagai mas kawin.
Kehormatan keluarga (syaraf) dianggap lebih penting dari apa pun. Sehingga seandainya seorang perempuan ditindas di dalam rumah tangganya, dia disuruh diam, menerima. Sebisa mungkin jangan sampai bercerai, karena bercerai berarti mencoreng kehormatan keluarga.
"Kalau kau menceraikan suamimu, saudara-saudaramu dan sepupu-sepupumu akan membunuhku!" Itulah yang dikatakan ayah Nujood ketika Nujood pulang ke rumah meminta perlundungan. Apakah ini berarti tidak apa-apa jika anak perempuannya mati di tangan suami, asalkan keluarga mereka tidak kehilangan kehormatan? Tidak kehilangan muka?
Bagaimana dengan ibu Nujood? Oh, dia cuma perempuan. Tidak punya hak berpendapat, apalagi mengambil keputusan. Di Yaman, kaum laki-lakilah yang berkuasa dan berhak menentukan segalanya.
Buku ini terlalu suram, terlalu menyesakkan. Saya hanya berharap keadaan para perempuan di Yaman sudah lebih baik sekarang. Minimal jangan lagi tertindas, jangan lagi teraniaya.
Pada saat diri saya begitu putus asa menghadapi hidup, terkadang saya membaca buku ini kembali. Untuk mensyukuri segala yang telah saya miliki. Setidaknya dalam keadaan yang sulit sekali pun, saya masih bisa bersuara. Untuk mengungkapkan apa yang saya inginkan, yang saya sukai atau tidak disukai. Untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak.
Komentar
Posting Komentar