Langsung ke konten utama

Teman yang "Sesuatu"


Tanggal 23 Desember lalu, aku menerima kunjungan seorang teman dari jauh. Dia berasal dari sebuah kota di Jawa Timur. Panggil saja temanku itu Ninik.

Beberapa hari sebelumnya kami saling kontak lewat WA, membicarakan tentang liburannya ke Jogja selama beberapa hari. Sebelum berkunjung ke rumahku, Ninik mengunjungi teman lainnya yang juga tinggal di Jogja.

Setelah membagikan lokasi rumahku menggunakan google maps, aku bersiap-siap menunggu Ninik di ruang tamu. Tak lama kemudian Ninik memberitahuku bahwa dia sudah sampai di ujung gang, di persimpangan jalan. Dia menanyakan rumahku yang mana?

Aku tak menjawab WA-nya, tapi langsung keluar rumah menuju ujung gang. Di sana sebuah mobil berhenti, dan aku yakin sekali, itu mobil yang ditumpangi Ninik.

Benar saja. Ninik keluar dari dalam mobil dengan membawa banyak sekali barang bawaan. Setelah mengucapkan salam perpisahan pada teman yang mengantar Ninik, aku memandu jalan ke rumah.

Siang itu, di dalam kamarku yang mungil tapi padat barang, aku dan Ninik saling melepas rindu, berbagi cerita dengan seru. Aku dan Ninik berkenalan di sebuah komunitas menulis di facebook--yang aku sendiri sudah lupa apa nama komunitasnya. Sebelum ini kami sudah pernah bertemu tahun 2017 di Malioboro dalam waktu yang sangat singkat.

Kemudian Ninik bercerita bahwa teman yang tadi mengantarnya kemari juga dikenalnya lewat facebook. Kami sama-sama menertawakan hubungan pertemanan yang aneh ini. "Kalau bisa ketemu langsung sama teman yang kita kenal di dunia maya, lalu jadi akrab, itu rasanya sesuatu, ya, Mbak?" Aku meng-iya-kan, karena aku sendiri beberapa kali menerima kunjungan teman facebook yang sekarang jadi teman akrab. 

Kami juga membicarakan novelku yang baru terbit. "Mbak, kenapa, ya, sampul bukunya Mbak Liana kebanyakan warna merah?" Aku tertawa mendengar pertanyaan Ninik. Aku bukannya tak menyadari hal ini. Aku juga pernah bertanya-tanya, kenapa sampul bukuku hampir selalu berwarna merah? Novel Diary Gamophobia warnanya oranye, tapi juga cenderung ke merah.

"Wah, aku nggak tahu, tuh! Pokoknya tiap kali buku akan terbit, cover mau gambar apa, warna apa, aku nurut saja sama penerbitnya. Kok, ndilalah banyak yang condong ke warna merah. Aku sih, tidak masalah, karena memang suka juga sama warna merah, oranye, dan yang terang-terang begitu." Aku agak terkejut sebenarnya, karena Ninik memperhatikan buku-bukuku sampai detail.

Obrolan kami rasanya tak habis-habis. Ada saja... yang dijadikan bahan. Tentang pertemanan, menulis, buku-buku yang kami suka, pekerjaan, dan lain-lain. Sampai dia mengungkapkan keinginan untuk jalan-jalan ke Malioboro.

Mengingat beberapa hari belakangan Jogja sering hujan di sore hari, aku tak mau buang-buang waktu. Kami segera bersiap-siap pergi. Aku dan Ninik ke luar rumah, lalu berjalan sampai ke depan Pasar Tlagareja menunggu grab.

Di dalam perjalanan kami sempat berbincang-bincang dengan Pak Sopir.

"Teman sekolah atau kerja, Mbak?"

Aku dan Ninik berpandangan dan tertawa. Ninik menjawab, "Teman facebook, Pak."

"Ternyata facebook ada manfaatnya juga, ya, Mbak. Kalau saya lihat di tv itu, gara-gara facebook ada yang ditipu, diculik, dirampok... Wah, macam-macam!"

Aku dan Ninik tertawa lagi. "Itu tergantung yang pakai, kok, Pak."

Sampai di Malioboro, aku dan Ninik langsung masuk ke mal. Rencananya, aku mau membeli dua novel karya dua teman facebook-ku. Waktu aku menelisik deretan rak buku, Ninik berseru, "Mbak, ini kan, bukunya sampeyan?" Ah, ternyata novel teman yang kucari letaknya bersebelahan dengan novelku sendiri. Senang sekali rasanya! Novel teman facebook-ku yang lainnya kutemukan di rak berbeda.

Setelah dari toko buku, aku mengantar Ninik ke toko batik, karena dia ingin membeli syal batik. Barang buruannya juga berhasil didapatkan. Kutanya Ninik ingin ke mana lagi? Sepertinya dia bingung.

Kubilang, "Kalau kamu kuat jalan kaki, kita jalan kaki dari sini sampai Pasar Beringharjo, terus ke Benteng Vredeburg, sampai ke Titik Nol Kilometer. Belok ke Taman Pintar, lanjut lagi ke Pasar Buku Shopping. Atau mau lurus terus sampai ke Alun-Alun dan Keraton Yogyakarta."

Aku tanya begitu karena banyak dari teman-temanku yang ke Jogja tidak betah jalan kaki. Dari Malioboro Mall ke Pasar Beringharjo saja sudah mengeluh "jauh". Namun rupanya Ninik suka jalan kaki. Cocoklah denganku! Di sore yang (tumben) cerah itu, di bawah langit yang berwarna oranye, kami sempatkan duduk-duduk di kawasan Titik Nol Kilometer sambil berfoto.

Dilanjutkan jalan kaki sampai ke Pasar Buku Shopping karena Ninik mencari sebuah buku lawas. (Tentu saja aku memberi warning, AWAS BAJAKAN!) Sayang sekali Ninik tidak menemukan buku yang diincarnya itu. Aku dan Ninik lalu salat di masjid di sebelah Taman Pintar.


Setelah Magrib, Ninik mengungkapkan keinginannya untuk melihat Masjid Gedhe Kauman. Dan kami balik lagi ke Titik Nol Kilometer, menyeberang dan berjalan menuju Masjid Gedhe Kauman. Sampai di masjid, tinggal beberapa menit menuju salat Isya. Kami sekalian saja salat di sana.

Perut protes minta diisi. Kami berjalan-jalan mencari makan. Sama seperti saat pertemuan pertama kami, Ninik ingin makan gudeg. Jadilah malam itu kami masing-masing menyantap sepiring nasi gudeg dan segelas teh hangat. 

Tanpa terasa jam merangkak ke angka sembilan. Aku dan Ninik memutuskan pulang, naik grab lagi.

Sampai rumah kami sama-sama merasa lelah, tapi tetap saja ingin mengobrol. Aku dan Ninik berbaring bersisian di kamarku sambil membahas buku-buku yang belakangan baru selesai kubaca. Hingga kami terlelap ....

Begitu pagi menyapa, Ninik sudah siap-siap mengemasi barang-barang. Aku baru akan membelikan sarapan, tapi dia bilang tidak terbiasa sarapan. Lagi pula kereta yang akan dia tumpangi berangkat pagi.

Aku mengantar Ninik sampai ke depan gang menuju jalan raya. Sambil menunggu gojek pesanan, kami mengobrol lagi. Ah, rasanya aku sungguh tak rela dia pulang pagi ini. Waktu pertemuan kami tidak sampai 24 jam.

Pak Gojek datang dan kami saling memberi pelukan perpisahan, ada sebagian dari ruang hatiku yang kosong. Kami memang hanya dipertemukan lewat dunia maya, bertemu langsung baru dua kali. Namun dari percakapan-percakapan lewat fb, ig, dan WA, rupanya telah membuat ikatan di hati kami. Aku merasa sudah lama sekali mengenal Ninik. Seperti saudara saja.

Semoga aku dan dia bisa kembali bertemu di dunia nyata .... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUT BIRU KLARA, Memandang Kekurangan Sebagai Suatu Kelebihan

Judul: Laut Biru Klara Penulis: Auni Fa Penerbit: METAMIND (Tiga Serangkai) Tebal: 330 halaman Cetakan: Pertama, Februari 2019 ISBN: 978-602-9251-77-7 Laut Biru Klara adalah novel karya Auni Fa kedua yang saya baca. Menceritakan tentang gadis kecil penderita autis bernama Klara yang tinggal di Kampung Pesisir miskin. Meski demikian, Klara memiliki kemampuan berenang luar biasa mengungguli kedua sahabatnya yang normal, Sea dan Gegar. Sea, anak perempuan nelayan yang digadang-gadang sebagai penerus keluarga, sebanarnya sangat benci dengan bau amis ikan. Bersama teman laki-lakinya, Gegar, Sea menjadi pengawal pribadi Klara. Menemani Klara bermain, mengantarnya pergi ke karang besar dan hutan. Sea dan Gegar juga selalu membela Klara jika anak itu dimarahi, dipukuli, atau dikurung di dalam rumah oleh Paman Bai--ayah Klara yang galak. Dalam suatu peristiwa, Gegar tewas tenggelam terseret ombak. Kepergian gegar membuat Klara dan Sea berduka. Namun untunglah tak b

Quote Menulis

Kita semua pasti pernah diserang rasa malas saat menulis. Lalu bagaimana caranya mengembalikan semangat menulis? Daripada mengeluh di facebook atau mengganggu teman, lebih baik kita membaca quote atau kutipan indah para tokoh terkenal yang berhubungan dengan dunia tulis menulis. Setelah membaca kata-kata emas mereka, mungkin saja semangat menulismu langsung melonjak drastis. Simak, yuk! 1. Aku akan menjadi seorang penulis walau harus mati! (Alex Haley) 2. Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak. (Ali bin Abi Thalib) 3. Ikatlah ilmu dengan menulis. (Ali Bin Abi Thalib) 4. Semakin banyak orang membaca buku karya Anda,semakin besar pengaruh yang Anda berikan dalam suatu masyarakat. Mungkin karena energi yang tersimpan dalam buku inilah, sebuah buku sering ditakuti. (Bambang Trimansyah) 5. Penulis tidak perna

Lorosae My Love - Mengejar Cinta ke Bumi Timor Leste

Judul: Lorosa'e: My Love Penulis: Riskaninda Maharani Penerbit: Araska Publisher Tebal: 252 halaman Cetakan: Pertama, November, 2017 ISBN: 978-602-300-432-4 Lorosa'e: My Love adalah sebuah novel cinta dewasa yang mengambil setting di Timor Leste dan Malang. Cukup menarik karena Timor Leste termasuk jarang diangkat ke dalam novel. Inilah yang membuat Lorosa'e: My Love berbeda dari novel-novel kebanyakan. Mengisahkan tentang Dee, gadis petualang cinta dari Indonesia yang jatuh hati pada pemuda Timor Timur bernama Zil. Gejolak perasaan yang begitu menggelora dan sulit dikendalikan membuat Dee terseret pesona pria itu, membawanya serta ke Timor Leste. Berharap kebahagiaan akan merengkuhnya dengan diakui sebagai anggota keluarga Zil secara adat. Namun baru beberapa hitungan hari, Dee melihat perangai Zil berubah menjadi kasar. Memukul, menendang, dan berbagai siksaan fisik sering kali dilayangkan ke tubuh Dee dengan ringan--hingga berdarah-darah. Hanya kar