Dulu, karena suatu peristiwa, saya takut sekali dengan gelap.
Jika tidur, lampu harus menyala sepanjang malam. Ketika listrik mati, saya akan cepat-cepat keluar kamar dan kelabakan mencari lilin. Ketika lilin sudah dinyalakan pun, saya akan menarik selimut mampai ke atas kepala, memejamkan mata. Tapi perasaan seperti terperangkap membuat saya tidak bisa tidur sampai lampu menyala kembali.
Setahun yang lalu, karena satu peristiwa yang lain juga, saya memilih pindah ke kamar belakang. Yang lampunya rusak, dan karena suatu alasan tidak memungkinkan untuk memperbaikinya. Saya tidur di kamar gelap itu. Kamar yang pertama, yang ada lampunya, hanya digunakan untuk menaruh rak-rak buku.
Beberapa buku-buku timbunan yang belum selesai dibaca dan buku referensi yang sudah dibaca tapi masih diperlukan, saya bawa dari kamar depan ke kamar belakang. Jika satu tumpukan buku selesai, saya ganti dengan tumpukan buku lain. Di siang hari saya membaca buku seperti biasa. Menjelang magrib, saya membaca dengan sumber cahaya dari layar televisi. Karena tayangan televisi bergerak setiap detik, tentu cahaya yang menyorot ke buku juga berubah setiap detik. Acara-acara tertentu dan channel tertentu memiliki sorotan cahaya yang khas. Saya sampai hafal, channel dan acara mana yang sorotan cahayanya dominan terang, agak bersahabat untuk membaca. Atau channel dan acara mana saja yang sorotan cahayanya suram. Saya bilang "agak" karena cahaya televisi tidak ada yang benar-benar bersahabat untuk membaca. Apalagi saat jeda iklan, cahaya berubah-ubah sedemikian cepatnya--dari gelap ke terang, dari terang ke gelap lagi. Berkali-kali saya harus menghentikan bacaan, menahan kesal demi mendapat cahaya yang tepat untuk melihat huruf dengan jelas. Dan mestinya memang tidak digunakan untuk itu.
○ "Itu, kan, tidak bagus."
"Merusak mata."
● Ya, saya tahu. Namun di saat sekarang, tidak ada pilihan lain.
○ "Tidak usah membaca kalau malam hari."
● Tidak mungkin. Siang, malam saya harus membaca. Tepatnya bukan harus, tapi "butuh". Pada keadaan ini pun saya sudah mengubah jadwal menggunakan laptop hanya di siang hari, karena saya menaruhnya di kamar depan.
Jadi sebetulnya aktivitas saya di malam hari sangat terbatas. Tapi kan, tidak mungkin saya langsung memilih tidur begitu langit gelap, atau di jam-jam yang memang biasanya saya belum tidur.
Seminggu lalu saya menemukan lampu baterai ini. Ketika dihidupkan terang sekali. Nyaris sama seperti lampu biasa. Saya senang bisa membaca dengan leluasa. Sayangnya hal tersebut hanya berlangsung beberapa hari--karena semakin lama seiring dengan berkurangnya kekuatan baterai, kekuatan cahaya juga melemah.
Saya kesal. Sempat merutuki kejadian yang mengharuskan saya memilih pindah dari kamar depan ke kamar belakang. Tapi ada satu hal yang baru saja saya sadari: saya tidak takut gelap lagi.
Ah... ternyata pada setiap satu kesulitan yang berhasil diatasi, akan selalu muncul kesulitan lain yang juga menunggu diatasi--lengkap dengan bonus tak terduga.
Mungkin hidup memang selalu menempatkan kita pada pilihan yang serba salah dan serba sulit. Tapi kita punya kemampuan beradaptasi, yang meskipun pada prosesnya terasa tidak menyenangkan dan harus diiringi berbagai keluhan--lambat laun semua akan menjadi terbiasa.
Tapi saya tahu ini bukan akhir.
Masih menanti suatu hari ketika cahaya terang menyala kembali--yang tak hanya nyaman untuk mata, tapi juga hati.
Kamar Gelap, 21.27
Komentar
Posting Komentar