Langsung ke konten utama

TARUHLAH KATA "BAPER" DAN "LEBAY" PADA TEMPATNYA

Pernahkah ketika suasana hatimu sedang buruk, merasa sedih, kesal, kecewa, marah, atau putus asa--lalu kamu bercerita pada seseorang? Namun setelah mendengar ceritamu, orang itu berkomentar demikian.

"Nggak usah lebay, ah!"

"Kamu baper banget, sih, gitu aja dipikirin!"


Saya tidak tahu bagaimana asal mulanya kata "baper" dan "lebay". Tapi saya pribadi tidak suka dengan kedua kata itu. 

Kenapa?

Saya mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar, sejak ada kata baper dan lebay, orang jadi cenderung tidak bisa menghargai perasaan orang lain.

Misalnya...

Seseorang bercerita kepada temannya tentang masalah yang sedang dia alami, mengungkapkan tentang kecemasannya, kekhawatirannya, dan kebingungannya. Apa yang harus dilakukan, ketika seolah semua jalan keluar tertutup?

Namun setelah mendengar cerita tersebut, sang teman menunjukkan ekspresi santai. "Ah, kamu... cuma kehilangan tas seharga 200 ribu aja dipikirin sampai segitunya! Nggak usah lebay, deh! Beli lagi, gampang! Aku kemarin habis kehilangan hp seharga dua jutaan, tapi diem aja."

Mungkin jika dilihat dari jumlah atau harganya, teman yang kehilangan hp seharga dua juta ini tampak lebih rugi daripada yang kehilangan tas.

Namun coba kita pikirkan lebih dalam.

Ternyata tas seharga 200 ribu yang hilang itu adalah hadiah dari ibunya yang telah lama meninggal. Si pemilik tas sangat menyayangi tas tersebut, menjaga dengan sepenuh hati, mencucinya secara berkala agar tas selalu bersih dan dapat dipakai dengan nyaman. Dia bawa tas itu saat pergi bekerja setiap hari. Karena dengan melihat tas tersebut, dia akan teringat pada sang ibu dan membuatnya lebih bersemangat.

Sementara teman yang kehilangan hp seharga dua juta adalah anak orang kaya. Sebulan sekali memang sudah jadwal ganti hp, karena hobinya mengikuti tren hp terbaru.

Pantaskah kita mengatakan lebay pada orang yang "hanya" kehilangan tas seharga 200 ribu?

Kalau menurut standar pemikiranmu orang itu memang benar-benar lebay, pantaskah kita menyepelekan, meremehkan kadar kesedihannya dengan satu kata "lebay"?

Pantaskah kita membanding-bandingkan masalah satu orang dengan masalah orang lainnya?

Kita beralih ke cerita yang kedua.

Ada orang yang mengikuti acara reuni sekolah. Lalu temannya berkata, "Eh kamu kok, sekarang gemuk banget, sih? Kenapa nggak diet?"

Teman yang komentar itu tidak tahu bahwa sejak lama, orang yang dikatai gemuk juga pernah berusaha menurunkan berat badan hingga ke angka ideal. Mencoba berbagai obat pelangsing, mengikuti anjuran dokter untuk pantang banyak makanan. Tapi akhirnya? Dia jatuh sakit. Dirawat di rumah sakit karena kekurangan nutrisi.

Setelah dikatai gemuk, dia lagi-lagi kehilangan rasa percaya diri. Mempertanyakan apakah penampilannya, tubuhnya memang sangat buruk?

Sementara setelah tahu orang yang dikatai down, si teman berkomentar, "Cuma gitu aja, nggak usah baper!"

Kalau setiap orang yang menunjukkan perasaannya dilarang baper, lalu menurutmu yang boleh baper itu yang bagaimana? Apa baper diizinkan hanya bagi orang yang ditinggal mati?

Sedemikian populernya kah kata "lebay" dan "baper" sehingga orang merasa harus mengeluarkan kedua kata tersebut di setiap keadaan?

Apa begitu sulit menahan mulut (dan jari) agar berkomentar hanya yang positif, tanpa menyepelekan apa yang sedang orang lain rasakan?


Sumber gambar: PIXABAY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUT BIRU KLARA, Memandang Kekurangan Sebagai Suatu Kelebihan

Judul: Laut Biru Klara Penulis: Auni Fa Penerbit: METAMIND (Tiga Serangkai) Tebal: 330 halaman Cetakan: Pertama, Februari 2019 ISBN: 978-602-9251-77-7 Laut Biru Klara adalah novel karya Auni Fa kedua yang saya baca. Menceritakan tentang gadis kecil penderita autis bernama Klara yang tinggal di Kampung Pesisir miskin. Meski demikian, Klara memiliki kemampuan berenang luar biasa mengungguli kedua sahabatnya yang normal, Sea dan Gegar. Sea, anak perempuan nelayan yang digadang-gadang sebagai penerus keluarga, sebanarnya sangat benci dengan bau amis ikan. Bersama teman laki-lakinya, Gegar, Sea menjadi pengawal pribadi Klara. Menemani Klara bermain, mengantarnya pergi ke karang besar dan hutan. Sea dan Gegar juga selalu membela Klara jika anak itu dimarahi, dipukuli, atau dikurung di dalam rumah oleh Paman Bai--ayah Klara yang galak. Dalam suatu peristiwa, Gegar tewas tenggelam terseret ombak. Kepergian gegar membuat Klara dan Sea berduka. Namun untunglah tak b

Quote Menulis

Kita semua pasti pernah diserang rasa malas saat menulis. Lalu bagaimana caranya mengembalikan semangat menulis? Daripada mengeluh di facebook atau mengganggu teman, lebih baik kita membaca quote atau kutipan indah para tokoh terkenal yang berhubungan dengan dunia tulis menulis. Setelah membaca kata-kata emas mereka, mungkin saja semangat menulismu langsung melonjak drastis. Simak, yuk! 1. Aku akan menjadi seorang penulis walau harus mati! (Alex Haley) 2. Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak. (Ali bin Abi Thalib) 3. Ikatlah ilmu dengan menulis. (Ali Bin Abi Thalib) 4. Semakin banyak orang membaca buku karya Anda,semakin besar pengaruh yang Anda berikan dalam suatu masyarakat. Mungkin karena energi yang tersimpan dalam buku inilah, sebuah buku sering ditakuti. (Bambang Trimansyah) 5. Penulis tidak perna

Lorosae My Love - Mengejar Cinta ke Bumi Timor Leste

Judul: Lorosa'e: My Love Penulis: Riskaninda Maharani Penerbit: Araska Publisher Tebal: 252 halaman Cetakan: Pertama, November, 2017 ISBN: 978-602-300-432-4 Lorosa'e: My Love adalah sebuah novel cinta dewasa yang mengambil setting di Timor Leste dan Malang. Cukup menarik karena Timor Leste termasuk jarang diangkat ke dalam novel. Inilah yang membuat Lorosa'e: My Love berbeda dari novel-novel kebanyakan. Mengisahkan tentang Dee, gadis petualang cinta dari Indonesia yang jatuh hati pada pemuda Timor Timur bernama Zil. Gejolak perasaan yang begitu menggelora dan sulit dikendalikan membuat Dee terseret pesona pria itu, membawanya serta ke Timor Leste. Berharap kebahagiaan akan merengkuhnya dengan diakui sebagai anggota keluarga Zil secara adat. Namun baru beberapa hitungan hari, Dee melihat perangai Zil berubah menjadi kasar. Memukul, menendang, dan berbagai siksaan fisik sering kali dilayangkan ke tubuh Dee dengan ringan--hingga berdarah-darah. Hanya kar